Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam lanskap geopolitik kawasan Asia Tenggara, terutama di wilayah maritim. Salah satu titik krusial yang kini berada dalam sorotan global adalah Laut Natuna Utara, bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berbatasan langsung dengan wilayah Laut Cina Selatan. Wilayah ini tidak hanya penting secara geostrategis, tetapi juga menjadi arena tarik menarik kepentingan ekonomi, politik, dan militer antara negara-negara besar, khususnya antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Masyarakat lokal, khususnya nelayan di Kabupaten Natuna, menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kompleksitas geopolitik ini. Di satu sisi, mereka menggantungkan hidup dari kekayaan sumber daya hayati laut yang tersedia di wilayah tersebut. Namun di sisi lain, aktivitas mereka semakin dibayangi oleh kehadiran kapal asing, termasuk kapal penangkap ikan berbendera Tiongkok yang kerap masuk secara ilegal ke perairan ZEE Indonesia.Menurut laporan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing Index tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Global Initiative, Indonesia menempati posisi ke-3 dunia sebagai negara dengan aktivitas IUU fishing tertinggi. Sebagian besar aktivitas ilegal tersebut terjadi di wilayah Laut Natuna Utara. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa lebih dari 50 kapal ikan asing diamankan di wilayah Natuna sepanjang tahun 2020 hingga 2022, mayoritas berasal dari Vietnam dan Tiongkok. Klaim sepihak Tiongkok atas wilayah Laut Cina Selatan melalui konsep Nine Dash Line menjadi akar dari ketegangan ini. Klaim tersebut memasuki sebagian ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara, dan telah secara resmi ditolak oleh Indonesia serta tidak memiliki dasar hukum menurut putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016. Meskipun demikian, kapal-kapal penjaga pantai (coast guard) dan kapal nelayan berbendera Tiongkok masih rutin memasuki wilayah tersebut, bahkan beberapa di antaranya terlibat dalam intimidasi terhadap nelayan lokal. Bagi nelayan Natuna, situasi ini menimbulkan dilema yang kompleks. Mereka menyadari bahwa wilayah tangkap mereka secara sah berada di dalam yurisdiksi Indonesia, namun ancaman yang mereka hadapi di laut semakin nyata. Banyak dari mereka melaporkan intimidasi oleh kapal asing, bahkan hingga insiden pengejaran. Beberapa memilih untuk tidak lagi melaut jauh karena takut terhadap potensi konflik, meskipun hal itu berarti menurunkan pendapatan keluarga. Pemerintah Indonesia memang telah merespons situasi ini dengan beberapa langkah strategis. Pada awal 2020, Presiden Joko Widodo secara simbolis mengunjungi Natuna untuk menegaskan kehadiran negara. Selain itu, TNI AL, Bakamla, dan KKP memperkuat patroli keamanan laut di kawasan tersebut. Namun demikian, pendekatan yang masih dominan bersifat temporer dan berfokus pada aspek militer, belum sepenuhnya menjawab kebutuhan kesejahteraan dan perlindungan sosial-ekonomi bagi masyarakat lokal. Keamanan maritim tidak hanya diukur dari kekuatan armada militer, tetapi juga dari sejauh mana negara mampu menjamin ruang hidup yang aman dan layak bagi masyarakatnya, terutama mereka yang tinggal dan bekerja di kawasan perbatasan. Nelayan Natuna, dalam konteks ini, seharusnya tidak diposisikan semata-mata sebagai "korban" geopolitik, tetapi sebagai aktor penting yang perlu diberdayakan. Langkah strategis jangka panjang yang dapat diambil pemerintah antara lain adalah: peningkatan fasilitas pelabuhan dan infrastruktur penunjang nelayan; penguatan program subsidi BBM dan alat tangkap ramah lingkungan; peningkatan kapasitas kelembagaan koperasi nelayan; serta jaminan keselamatan dan perlindungan hukum di wilayah perairan ZEE. Selain itu, dibutuhkan konsistensi dalam diplomasi maritim yang tidak hanya berbasis pada respons insidental, tetapi berorientasi pada penguatan posisi Indonesia di forum regional seperti ASEAN dan forum internasional seperti UNCLOS. Dalam konteks ketahanan nasional, kehadiran negara di perbatasan maritim bukan hanya simbolik, melainkan sebuah keharusan. Natuna tidak boleh dilihat hanya sebagai titik konflik, tetapi juga sebagai ruang penghidupan yang harus dilindungi. Ketika negara gagal memastikan keamanan dan kesejahteraan di sana, maka sesungguhnya yang terancam bukan hanya nelayan, tetapi juga kedaulatan itu sendiri. Ketegangan di wilayah Laut Cina Selatan (LCS) menunjukkan kompleksitas dinamika geopolitik yang berdampak langsung pada kehidupan nelayan Indonesia, khususnya di Natuna. Meskipun pemerintah telah meningkatkan kehadiran melalui patroli militer dan simbol-simbol kedaulatan, pendekatan tersebut belum cukup menjawab persoalan sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Dalam upaya menjaga kedaulatan maritim, negara perlu mengedepankan strategi yang holistik---menggabungkan kekuatan diplomatik, pertahanan, dan pemberdayaan lokal. Nelayan Natuna bukan sekadar korban konflik geopolitik, melainkan bagian dari benteng pertahanan maritim Indonesia yang harus dilindungi dan diberdayakan secara berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI