Di tengah semangat pengabdian yang menjadi ruh dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, enam mahasiswa ditugaskan untuk turut andil dalam memecahkan persoalan nyata tersebut. Kami tidak hanya hadir membawa teori, tetapi juga membawa niat tulus untuk mendengarkan dan berbuat. Dalam sinergi yang dibangun sejak awal, para mahasiswa dan pelaku usaha duduk bersama, mengidentifikasi akar persoalan yang selama ini menghambat perkembangan usaha.
Hasil dialog itu kemudian mengerucut pada satu hal krusial: kualitas telur yang cepat menurun karena suhu ruang penyimpanan yang tidak stabil. Dari sini, lahirlah gagasan sederhana namun berdampak besar: merancang teknologi tepat guna berupa kotak penyimpanan telur asin dengan pengatur suhu otomatis. Teknologi ini dirancang agar suhu penyimpanan dapat terjaga di bawah 31C, sesuai rekomendasi mitra, demi memperpanjang daya tahan telur asin dan menjaga cita rasa.
Teknologi tersebut dibangun menggunakan sistem berbasis Arduino UNO dan sensor suhu DHT11, dipadukan dengan kipas otomatis yang aktif ketika suhu melewati ambang tertentu. Tidak hanya merancang dan merakit, para mahasiswa juga memberikan pelatihan penggunaan serta melakukan monitoring berkala untuk memastikan alat dapat berfungsi secara optimal dan mudah dioperasikan oleh mitra. Hasilnya? Daya simpan telur asin meningkat dari 10 menjadi 15 hari. Tingkat kerusakan turun hingga 40%. Angka yang membawa arti besar bagi UMKM berskala mikro.
Namun, kerja kami tidak berhenti pada teknologi. Mahasiswa juga menyadari bahwa inovasi produk harus diiringi dengan inovasi pasar. Oleh karena itu, rangkaian program kerja turut mencakup sosialisasi penyusunan laporan keuangan sederhana, pelatihan penggunaan marketplace seperti Shopee dan Facebook untuk membuka akses pasar digital, serta pembuatan papan nama usaha sebagai bagian dari penguatan identitas visual. Semua ini dilakukan dalam waktu efektif enam minggu, tetapi dengan komitmen yang menyala sejak hari pertama.
Kegiatan pengabdian berlangsung setiap Sabtu dan Minggu, sejak 24 Mei hingga 21 Juni 2025.
Program ini bukan semata-mata soal memberi bantuan. Ia adalah proses belajar dua arah. Mahasiswa belajar tentang ketekunan dan realita usaha mikro, sementara pelaku usaha mendapat dukungan dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan alat praktis yang dapat langsung digunakan.
Dalam masyarakat, perubahan sering dimulai dari hal kecil. Selembar papan nama yang dulunya abai, kini berdiri tegak dengan logo sederhana. Akun Shopee yang dulu asing, kini mulai berisi produk-produk lokal yang berdaya saing. Dan di dalam kotak penyimpanan telur yang tampak biasa itu, ada teknologi yang menjadi jembatan antara ilmu kampus dan kebutuhan nyata warga desa.
Kolaborasi semacam ini layak menjadi contoh. Bahwa pembangunan ekonomi tidak selalu harus menunggu bantuan besar dari pusat. Ia bisa dimulai dari desa, dari UMKM, dan dari tangan-tangan muda yang bersedia turun tangan. Ketika semangat akademik menyatu dengan realitas lapangan, maka pengabdian berubah menjadi gerakan: gerakan menuju pemberdayaan yang berkelanjutan.
Mari kita bersama-sama menjadikan inovasi teknologi tepat guna sebagai jembatan menuju UMKM yang lebih berdaya dan berkelanjutan.