Kekuatan Indonesia Moeda tak hanya berhenti pada semangat kebangsaan. Dalam perkembangannya, organisasi ini juga menyalurkan energi mudanya ke berbagai bidang, termasuk olahraga, terutama sepak bola. Dari rahim pembinaan IM inilah lahir pemain-pemain yang bukan hanya berbakat, tetapi juga berjiwa nasionalis tinggi. Era 1980-an menjadi salah satu puncak pembuktian bagaimana IM berkontribusi bagi sepak bola Indonesia. Siapa yang tak kenal nama-nama seperti Dede Sulaiman, Yohanes Auri, Wahyu Hidayat, hingga Didi Darmadi --- para pemain hasil didikan IM yang mampu menembus level tertinggi hingga mengenakan lambang Garuda di dada. Mereka bukan hanya bermain untuk menang, tetapi berjuang membawa kehormatan bangsa di setiap langkah di lapangan hijau.
Para pemain ini lahir dari proses panjang, bukan hasil rekrutmen instan. Mereka dibentuk melalui latihan keras, disiplin, dan penggemblengan mental yang menyatu dengan semangat kebangsaan. Di masa itu, sepak bola menjadi bagian dari misi moral: mengangkat nama Indonesia di kancah internasional dan memperkuat rasa persatuan di dalam negeri. Inilah bukti bahwa pendekatan berbasis kaderisasi seperti yang diterapkan IM mampu menghasilkan talenta yang bukan hanya hebat dalam permainan, tetapi juga memiliki jiwa pemimpin dan karakter kuat.
Karena itu, PSSI semestinya belajar dari model pembinaan ala Indonesia Moeda. Organisasi ini menunjukkan bahwa mencetak kader unggul tidak cukup dengan fasilitas mewah, melainkan dengan visi dan nilai yang jelas. Jika IM dulu bisa menanamkan semangat nasionalisme dan sportivitas dalam diri pemuda tanpa dukungan teknologi canggih, maka PSSI yang kini hidup di era modern seharusnya mampu melakukan lebih. Kolaborasi antara PSSI dan organisasi pembinaan seperti IM bisa menjadi langkah strategis untuk membangun generasi pesepakbola yang tidak hanya mengejar popularitas, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk membawa nama Indonesia dengan bangga dan terhormat.
Sepak bola sejatinya bukan sekadar soal taktik dan skor, melainkan juga cermin karakter bangsa. Dengan meniru semangat dan metode kaderisasi Indonesia Moeda, PSSI dapat mengubah arah pembinaan sepak bola Indonesia dari sekadar "memproduksi pemain" menjadi "melahirkan pejuang lapangan hijau." Pejuang yang tidak hanya bermain dengan kaki, tetapi juga dengan hati --- karena di dada mereka, lambang Garuda bukan sekadar simbol, melainkan panggilan untuk mengabdi pada merah putih.
Dari Euforia ke Evolusi
Kegagalan Timnas Indonesia menuju Piala Dunia bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah kesadaran baru: bahwa prestasi besar tidak lahir dari euforia sesaat, tetapi dari proses panjang yang berakar kuat. Kita terlalu sering terjebak dalam siklus antusiasme sementara --- saat menang satu laga, publik memuja; saat kalah, semua disalahkan. Padahal, sepak bola adalah perjalanan panjang yang membutuhkan arah, bukan sekadar semangat. Perlu ada pergeseran paradigma dari budaya euforia menuju budaya evolusi, dari memburu kemenangan cepat menuju membangun fondasi yang tahan lama.
Patrick Kluivert, atau siapapun pelatih berikutnya, tidak bisa bekerja dalam ruang hampa tanpa sistem pembinaan yang konsisten. Akademi usia dini, pelatih lokal yang berkompeten, hingga kompetisi berjenjang adalah kunci dari sebuah revolusi sunyi yang berbuah hasil nyata. Evolusi sepak bola Indonesia harus dimulai dari ruang kelas, dari lapangan-lapangan kecil di desa, hingga manajemen klub yang profesional. Semua pihak --- pemerintah, federasi, sekolah, hingga masyarakat --- perlu bergerak dalam irama yang sama: menanam, bukan sekadar memetik.
Seperti halnya bangsa ini dibangun dari proses panjang yang penuh kesabaran dan disiplin, demikian pula sepak bola harus dijalankan dengan visi jangka panjang. Kita tidak bisa terus bergantung pada solusi cepat seperti pelatih asing atau pemain naturalisasi tanpa membangun akar lokal yang kuat. Dari euforia menuju evolusi berarti mengembalikan makna sejati sepak bola: membentuk karakter, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan menanamkan semangat pantang menyerah. Karena kemenangan sejati bukan milik mereka yang tercepat, tetapi mereka yang paling konsisten menjaga arah dan semangat untuk terus tumbuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI