Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Ketika Semua ingin Cepat, Sepak Bola pun Jadi "instan"

13 Oktober 2025   09:37 Diperbarui: 13 Oktober 2025   11:34 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com/kalimantan-timur/read/2025/10/12/121244188/timnas-indonesia-gagal-ke-piala-dunia-2026-haye-dan-verdonk?page=all

Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke Piala Dunia kembali menjadi luka lama yang terasa segar. Banyak yang menuding pelatih Patrick Kluivert sebagai biang kegagalan. Namun, jika mau jujur, persoalan sepak bola Indonesia jauh lebih dalam dari sekadar satu nama di pinggir lapangan. Ini adalah cermin dari budaya kita yang terlalu sering memuja hasil cepat tanpa proses panjang --- budaya "mie instan" yang menular hingga ke dunia olahraga.

Dalam euforia sesaat, kita berharap pelatih asing mampu menjadi juru selamat. Setiap kali nama besar didatangkan, publik menaruh harapan bahwa tim nasional akan langsung berubah menjadi kekuatan Asia. Padahal, sepak bola bukan rumus instan yang bisa selesai dalam satu putaran kompetisi. Perjalanan menuju tim tangguh memerlukan fondasi kuat yang dibangun dari bawah --- akademi, kompetisi usia dini, dan sistem pembinaan berkelanjutan.

Sementara itu, pemain-pemain naturalisasi dijadikan tumpuan seolah menjadi solusi ajaib. Mereka memang memberi warna dan pengalaman baru, tapi tanpa pondasi yang kokoh dari pemain lokal, naturalisasi hanya menjadi "plester sementara" bagi luka yang belum diobati. Ketika regenerasi mandek, prestasi pun berhenti pada batas mimpi. Kita bisa belajar dari Jepang dan Korea Selatan: mereka tidak bergantung pada pemain luar, tapi membangun sistem yang melahirkan generasi emas dari dalam negeri.

Dari Naturalisasi ke Nasionalisasi: Saatnya Percaya pada Diri Sendiri

Strategi "instan" dengan pemain naturalisasi menunjukkan betapa dangkalnya visi pembinaan sepak bola kita. Alih-alih melahirkan pemain lokal berkarakter kuat, PSSI justru sibuk mencari jalan pintas agar bisa bersaing di level internasional. Akibatnya, pemain muda kehilangan kesempatan untuk berkembang dan beradaptasi di level tinggi. Dalam jangka panjang, pola ini menciptakan ketergantungan yang kontraproduktif --- alih-alih membangun kemandirian, kita justru terus menunggu "import talenta" dari luar negeri.

Pemain naturalisasi memang memiliki kontribusi, terutama dalam mentransfer pengetahuan dan disiplin, namun mereka tidak boleh menjadi tulang punggung sistem. Regenerasi sejati lahir dari liga usia muda yang terkelola baik, pelatih lokal yang berkompeten, serta visi jangka panjang yang berkelanjutan lintas generasi. PSSI perlu menanamkan paradigma baru bahwa prestasi bukanlah hasil cepat, melainkan buah dari pembinaan panjang dan konsistensi.

Sebagai perbandingan, Jepang membangun J-League sejak 1993 dengan visi membentuk ekosistem sepak bola dari sekolah, universitas, hingga klub profesional. Dua dekade kemudian, mereka tampil di Piala Dunia secara konsisten. Indonesia, dengan potensi penduduk muda melimpah, semestinya mampu meniru model ini. Namun, syaratnya satu: berhenti mengejar jalan pintas.

Budaya "instan" yang mewabah --- dari mie instan, teh instan, hingga kopi instan --- seolah merembes ke pola pikir olahraga kita. Kita ingin hasil seketika tanpa mau menanam kesabaran dan disiplin. Jika ingin berubah, sepak bola Indonesia harus menumbuhkan rasa percaya diri pada potensi lokal, bukan sekadar meminjam nama asing untuk menambal krisis prestasi.

Belajar dari Indonesia Moeda: Membangun Kader, Bukan Sekadar Pemain

Sejarah telah mencatat bahwa bangsa ini tidak pernah kekurangan sumber daya manusia unggul. Pada tahun 1930, berdirilah Indonesia Moeda (IM), sebuah organisasi pemuda yang tersebar di seluruh nusantara. Indonesia Moeda bukan sekadar wadah pergerakan, tetapi sekolah kehidupan yang melatih kedisiplinan, nasionalisme, dan jiwa kepemimpinan. Dari sinilah lahir kader-kader hebat yang kelak menjadi fondasi bagi lahirnya bangsa merdeka. Filosofi kaderisasi yang diusung IM sesungguhnya sangat relevan bagi dunia sepak bola Indonesia hari ini: membangun dari akar, menanam nilai, dan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknik, tapi juga matang dalam karakter dan dedikasi.

Kekuatan Indonesia Moeda tak hanya berhenti pada semangat kebangsaan. Dalam perkembangannya, organisasi ini juga menyalurkan energi mudanya ke berbagai bidang, termasuk olahraga, terutama sepak bola. Dari rahim pembinaan IM inilah lahir pemain-pemain yang bukan hanya berbakat, tetapi juga berjiwa nasionalis tinggi. Era 1980-an menjadi salah satu puncak pembuktian bagaimana IM berkontribusi bagi sepak bola Indonesia. Siapa yang tak kenal nama-nama seperti Dede Sulaiman, Yohanes Auri, Wahyu Hidayat, hingga Didi Darmadi --- para pemain hasil didikan IM yang mampu menembus level tertinggi hingga mengenakan lambang Garuda di dada. Mereka bukan hanya bermain untuk menang, tetapi berjuang membawa kehormatan bangsa di setiap langkah di lapangan hijau.

Para pemain ini lahir dari proses panjang, bukan hasil rekrutmen instan. Mereka dibentuk melalui latihan keras, disiplin, dan penggemblengan mental yang menyatu dengan semangat kebangsaan. Di masa itu, sepak bola menjadi bagian dari misi moral: mengangkat nama Indonesia di kancah internasional dan memperkuat rasa persatuan di dalam negeri. Inilah bukti bahwa pendekatan berbasis kaderisasi seperti yang diterapkan IM mampu menghasilkan talenta yang bukan hanya hebat dalam permainan, tetapi juga memiliki jiwa pemimpin dan karakter kuat.

Karena itu, PSSI semestinya belajar dari model pembinaan ala Indonesia Moeda. Organisasi ini menunjukkan bahwa mencetak kader unggul tidak cukup dengan fasilitas mewah, melainkan dengan visi dan nilai yang jelas. Jika IM dulu bisa menanamkan semangat nasionalisme dan sportivitas dalam diri pemuda tanpa dukungan teknologi canggih, maka PSSI yang kini hidup di era modern seharusnya mampu melakukan lebih. Kolaborasi antara PSSI dan organisasi pembinaan seperti IM bisa menjadi langkah strategis untuk membangun generasi pesepakbola yang tidak hanya mengejar popularitas, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk membawa nama Indonesia dengan bangga dan terhormat.

Sepak bola sejatinya bukan sekadar soal taktik dan skor, melainkan juga cermin karakter bangsa. Dengan meniru semangat dan metode kaderisasi Indonesia Moeda, PSSI dapat mengubah arah pembinaan sepak bola Indonesia dari sekadar "memproduksi pemain" menjadi "melahirkan pejuang lapangan hijau." Pejuang yang tidak hanya bermain dengan kaki, tetapi juga dengan hati --- karena di dada mereka, lambang Garuda bukan sekadar simbol, melainkan panggilan untuk mengabdi pada merah putih.

Dari Euforia ke Evolusi

Kegagalan Timnas Indonesia menuju Piala Dunia bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah kesadaran baru: bahwa prestasi besar tidak lahir dari euforia sesaat, tetapi dari proses panjang yang berakar kuat. Kita terlalu sering terjebak dalam siklus antusiasme sementara --- saat menang satu laga, publik memuja; saat kalah, semua disalahkan. Padahal, sepak bola adalah perjalanan panjang yang membutuhkan arah, bukan sekadar semangat. Perlu ada pergeseran paradigma dari budaya euforia menuju budaya evolusi, dari memburu kemenangan cepat menuju membangun fondasi yang tahan lama.

Patrick Kluivert, atau siapapun pelatih berikutnya, tidak bisa bekerja dalam ruang hampa tanpa sistem pembinaan yang konsisten. Akademi usia dini, pelatih lokal yang berkompeten, hingga kompetisi berjenjang adalah kunci dari sebuah revolusi sunyi yang berbuah hasil nyata. Evolusi sepak bola Indonesia harus dimulai dari ruang kelas, dari lapangan-lapangan kecil di desa, hingga manajemen klub yang profesional. Semua pihak --- pemerintah, federasi, sekolah, hingga masyarakat --- perlu bergerak dalam irama yang sama: menanam, bukan sekadar memetik.

Seperti halnya bangsa ini dibangun dari proses panjang yang penuh kesabaran dan disiplin, demikian pula sepak bola harus dijalankan dengan visi jangka panjang. Kita tidak bisa terus bergantung pada solusi cepat seperti pelatih asing atau pemain naturalisasi tanpa membangun akar lokal yang kuat. Dari euforia menuju evolusi berarti mengembalikan makna sejati sepak bola: membentuk karakter, menumbuhkan kebanggaan nasional, dan menanamkan semangat pantang menyerah. Karena kemenangan sejati bukan milik mereka yang tercepat, tetapi mereka yang paling konsisten menjaga arah dan semangat untuk terus tumbuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun