Mohon tunggu...
A Iskandar Zulkarnain
A Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... SME enthusiast, Hajj and Umra enthusiast, Finance and Banking practitioners

Iskandar seorang praktisi Keuangan dan Perbankan yang berpengalaman selama lebih dari 35 tahun. Memiliki sejumlah sertifikat profesi dan kompetensi terkait dengan Bidang Manajemen Risiko Perbankan Jenjang 7, Sertifikat Kompetensi Manajemen Risiko Utama (CRP), Sertifikat Kompetensi Investasi (CIB), Sertifikat Kompetensi International Finance Management (CIFM) dan Sertifikat Kompetensi terkait Governance, Risk Management & Compliance (GRCP) yang di keluarkan oleh OCEG USA, Sertifikasi Kompetensi Management Portofolio (CPM) serta Sertifikasi Kompetensi Perencana Keuangan Syariah Internasional (RIFA). Iskandar juga berkiprah di sejumlah organisasi kemasyarakatan ditingkat Nasional serta sebagai Ketua Umum Koperasi Syarikat Dagang Santri. Belakangan Iskandar juga dikenal sebagai sosok dibalik kembalinya Bank Muamalat ke pangkuan bumi pertiwi.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Anti Galbay, Literasi Keuangan untuk Membangun Akses Pembiayaan yang Sehat

2 Oktober 2025   09:43 Diperbarui: 2 Oktober 2025   10:44 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Galbay ke Anti Galbay: Tantangan UMKM dan Akses Kredit/Pembiayaan

Fenomena gagal bayar (galbay) menjadi salah satu masalah klasik dalam dunia pembiayaan, terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Galbay bukan hanya merugikan lembaga jasa keuangan (LJK), tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem pembiayaan secara keseluruhan.

Bagi UMKM, catatan galbay kerap menjadi stigma yang menutup peluang mendapatkan pembiayaan lanjutan, sehingga mempersempit akses terhadap modal produktif.

Di sisi lain, sistem penilaian kredit tradisional berbasis prinsip 5C (character, capacity, capital, collateral, condition) masih sangat bergantung pada ketersediaan agunan dan riwayat kredit formal. Akibatnya, kelompok unbanked dan underbanked---yang jumlahnya signifikan di Indonesia---sering dianggap tidak layak kredit, meski secara usaha mereka sebenarnya feasible. 

Rekomendasi Kementerian Keuangan 2025 menegaskan bahwa keterbatasan data tradisional ini justru memperkuat urgensi hadirnya instrumen alternatif seperti Innovative Credit Scoring (ICS) atau dikenal dengan sebutan PKA (Pemeringkat Kredit Alternatif), untuk menilai kelayakan debitur. Dengan pemanfaatan big data, artificial intelligence (AI), dan machine learning, PKA mampu membaca pola pembayaran non-tradisional, seperti ketepatan bayar tagihan listrik, telekomunikasi, hingga perilaku belanja daring. 

Kajian Kemenkeu menunjukkan bahwa penerapan ICS /PKA mampu menekan kerugian kredit hingga 50% dan meningkatkan akses kelayakan bagi kelompok unbanked sebesar 5%. Di titik inilah kampanye Anti Galbay relevan, bukan hanya sebagai edukasi literasi keuangan, tetapi juga sebagai strategi sistemik untuk mencegah terjadinya gagal bayar secara berulang.

https://benang.id/iarfc-indonesia-dorong-anak-muda-jadi-generasi-anti-galbay-demi-finansial-sehat-masa-depan-hebat/
https://benang.id/iarfc-indonesia-dorong-anak-muda-jadi-generasi-anti-galbay-demi-finansial-sehat-masa-depan-hebat/

Peran PKA (ICS) sebagai Pilar Anti Galbay

Dalam kerangka regulasi, POJK 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan kepada UMKM menegaskan bahwa bank maupun LKNB (Lembaga Keuangan Nonbank) wajib menyediakan kemudahan pembiayaan berbasis prinsip mudah, tepat, cepat, murah, dan inklusif. Salah satu instrumen yang diperkenalkan adalah penggunaan metode penilaian pembiayaan yang inovatif, termasuk PKA.

PKA berfungsi sebagai jembatan informasi antara calon debitur dan LJK. Dengan basis data yang lebih luas, PKA dapat mengklasifikasikan risiko dengan lebih presisi, sehingga bank tidak sekadar bergantung pada agunan. Mekanisme ini bukan hanya memperluas akses kredit, tetapi juga berfungsi sebagai anti galbay tool:

  1. Deteksi Dini Risiko -- PKA dapat mengidentifikasi pola perilaku yang mengindikasikan potensi gagal bayar, misalnya keterlambatan pembayaran tagihan berulang.
  2. Pencegahan Galbay -- dengan skor yang lebih akurat, LJK dapat menentukan limit pembiayaan dan tenor sesuai profil risiko calon debitur.
  3. Rehabilitasi Kredit -- bagi UMKM yang pernah mengalami galbay, PKA memberikan kesempatan membangun kembali reputasi keuangan melalui catatan positif dari data alternatif.

Lebih jauh, POJK 19/2025 juga mendorong kolaborasi antara bank, LKNB, dan pihak ketiga seperti PKA untuk mengembangkan metode penilaian yang andal, dengan syarat pihak ketiga telah berizin OJK. Dengan kata lain, PKA bukan sekadar teknologi tambahan, melainkan bagian dari tata kelola risiko yang diwajibkan oleh regulasi.

Literasi Keuangan sebagai Benteng Anti Galbay

Kampanye Anti Galbay tidak akan efektif jika hanya bertumpu pada instrumen teknologi. Faktor literasi keuangan menjadi kunci. Banyak kasus gagal bayar justru bermula dari minimnya pemahaman debitur mengenai kewajiban pembayaran, pengelolaan arus kas, hingga kemampuan menghitung beban utang terhadap pendapatan.

POJK 19/2025 secara eksplisit mewajibkan bank dan LKNB untuk melaksanakan edukasi keuangan bagi pelaku UMKM. Edukasi ini tidak sekadar berupa seminar formal, tetapi harus menyentuh kebutuhan praktis, seperti:

  1. Bagaimana mengelola cicilan agar sesuai dengan siklus usaha.
  2. Pentingnya disiplin mencatat transaksi harian.
  3. Strategi menghadapi fluktuasi pendapatan musiman agar tetap lancar bayar cicilan.

Dalam konteks ini, PKA dapat menjadi mitra strategis. Melalui dashboard skor kredit alternatif, UMKM dapat melihat posisi mereka secara transparan. Jika skor menurun, pelaku usaha bisa segera melakukan perbaikan, misalnya meningkatkan kepatuhan pembayaran tagihan atau memperbaiki manajemen kas. Transparansi ini akan menumbuhkan budaya "early warning", sehingga UMKM lebih waspada sebelum terjerumus ke dalam galbay.

Selain itu, literasi juga harus dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Banyak pelaku UMKM yang terjebak pinjaman online ilegal karena tergiur pencairan cepat. Padahal, suku bunga yang mencekik justru meningkatkan risiko gagal bayar. Dengan literasi yang baik, UMKM akan lebih selektif memilih sumber pembiayaan resmi yang diawasi OJK.

Regulasi, Kolaborasi, dan Masa Depan Anti Galbay

Langkah anti galbay tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan ekosistem yang kokoh. Pertama, dari sisi regulasi, POJK 19/2025 telah menyiapkan kerangka tata kelola, manajemen risiko, hingga rencana bisnis yang harus disusun bank dan LKNB dalam menyalurkan pembiayaan UMKM. Regulasi ini sejalan dengan rekomendasi Kemenkeu agar ICS/PKA digunakan lebih luas, khususnya dalam program kredit pemerintah.

Kedua, dari sisi kolaborasi, keberhasilan anti galbay membutuhkan sinergi antara regulator, industri jasa keuangan, penyelenggara PKA, hingga kementerian/lembaga terkait. Misalnya, dalam pembiayaan sektor pertanian, PKA dapat memanfaatkan data hasil panen dari Kementerian Pertanian sebagai variabel kelayakan kredit.

Ketiga, dari sisi keberlanjutan, ICS dan kampanye anti galbay harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Semakin luas data yang dihimpun, semakin akurat pula skor kredit yang dihasilkan. Ini akan menciptakan lingkaran kebajikan: semakin banyak UMKM mengakses pembiayaan, semakin kuat data yang membangun profil mereka, semakin rendah pula risiko galbay di masa depan.

Dalam horizon yang lebih luas, strategi anti galbay berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Jika UMKM sebagai tulang punggung ekonomi terjaga dari risiko gagal bayar, maka ketahanan ekonomi nasional juga akan semakin kokoh.

Meneguhkan Jalan Anti Galbay

Gerakan Anti Galbay merupakan strategi menyeluruh yang tidak hanya dimaksudkan untuk menekan tingkat gagal bayar, tetapi juga menjadi pilar penting dalam membangun ekosistem keuangan yang inklusif, sehat, dan berkelanjutan. 

Pemanfaatan PKA (ICS) sesuai rekomendasi Kementerian Keuangan dan penguatan regulasi melalui POJK 19/2025 membuktikan bahwa inovasi dalam penilaian kelayakan kredit mampu memperluas akses bagi kelompok unbanked dan underbanked tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian. Dengan teknologi ini, UMKM yang sebelumnya dianggap tidak layak kini dapat memperoleh kesempatan, sekaligus meminimalkan risiko kerugian lembaga keuangan.

Namun, fondasi teknologi harus berjalan seiring dengan penguatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen agar pelaku usaha tidak terjebak pada utang berbiaya tinggi atau praktik ilegal. 

Sinergi regulator, industri, dan masyarakat menjadi kunci utama. Bila konsisten, gerakan anti galbay dapat menumbuhkan budaya baru: berutang dengan cerdas, membayar tepat waktu, serta menjadikan pembiayaan sebagai sarana pemberdayaan, bukan jebakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun