Lebih jauh, POJK 19/2025 juga mendorong kolaborasi antara bank, LKNB, dan pihak ketiga seperti PKA untuk mengembangkan metode penilaian yang andal, dengan syarat pihak ketiga telah berizin OJK. Dengan kata lain, PKA bukan sekadar teknologi tambahan, melainkan bagian dari tata kelola risiko yang diwajibkan oleh regulasi.
Literasi Keuangan sebagai Benteng Anti Galbay
Kampanye Anti Galbay tidak akan efektif jika hanya bertumpu pada instrumen teknologi. Faktor literasi keuangan menjadi kunci. Banyak kasus gagal bayar justru bermula dari minimnya pemahaman debitur mengenai kewajiban pembayaran, pengelolaan arus kas, hingga kemampuan menghitung beban utang terhadap pendapatan.
POJK 19/2025 secara eksplisit mewajibkan bank dan LKNB untuk melaksanakan edukasi keuangan bagi pelaku UMKM. Edukasi ini tidak sekadar berupa seminar formal, tetapi harus menyentuh kebutuhan praktis, seperti:
- Bagaimana mengelola cicilan agar sesuai dengan siklus usaha.
- Pentingnya disiplin mencatat transaksi harian.
- Strategi menghadapi fluktuasi pendapatan musiman agar tetap lancar bayar cicilan.
Dalam konteks ini, PKA dapat menjadi mitra strategis. Melalui dashboard skor kredit alternatif, UMKM dapat melihat posisi mereka secara transparan. Jika skor menurun, pelaku usaha bisa segera melakukan perbaikan, misalnya meningkatkan kepatuhan pembayaran tagihan atau memperbaiki manajemen kas. Transparansi ini akan menumbuhkan budaya "early warning", sehingga UMKM lebih waspada sebelum terjerumus ke dalam galbay.
Selain itu, literasi juga harus dikaitkan dengan perlindungan konsumen. Banyak pelaku UMKM yang terjebak pinjaman online ilegal karena tergiur pencairan cepat. Padahal, suku bunga yang mencekik justru meningkatkan risiko gagal bayar. Dengan literasi yang baik, UMKM akan lebih selektif memilih sumber pembiayaan resmi yang diawasi OJK.
Regulasi, Kolaborasi, dan Masa Depan Anti Galbay
Langkah anti galbay tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan ekosistem yang kokoh. Pertama, dari sisi regulasi, POJK 19/2025 telah menyiapkan kerangka tata kelola, manajemen risiko, hingga rencana bisnis yang harus disusun bank dan LKNB dalam menyalurkan pembiayaan UMKM. Regulasi ini sejalan dengan rekomendasi Kemenkeu agar ICS/PKA digunakan lebih luas, khususnya dalam program kredit pemerintah.
Kedua, dari sisi kolaborasi, keberhasilan anti galbay membutuhkan sinergi antara regulator, industri jasa keuangan, penyelenggara PKA, hingga kementerian/lembaga terkait. Misalnya, dalam pembiayaan sektor pertanian, PKA dapat memanfaatkan data hasil panen dari Kementerian Pertanian sebagai variabel kelayakan kredit.
Ketiga, dari sisi keberlanjutan, ICS dan kampanye anti galbay harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Semakin luas data yang dihimpun, semakin akurat pula skor kredit yang dihasilkan. Ini akan menciptakan lingkaran kebajikan: semakin banyak UMKM mengakses pembiayaan, semakin kuat data yang membangun profil mereka, semakin rendah pula risiko galbay di masa depan.
Dalam horizon yang lebih luas, strategi anti galbay berperan penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Jika UMKM sebagai tulang punggung ekonomi terjaga dari risiko gagal bayar, maka ketahanan ekonomi nasional juga akan semakin kokoh.