#IndonesiaGelap: Demo Mahasiswa, Karena Kanal Aspirasi Tertutup di Dalam Kampus?
Gelombang protes mahasiswa dengan tema #IndonesiaGelap telah menggema di berbagai kota besar di Indonesia. Aksi ini bukan sekadar demonstrasi biasa, melainkan sebuah refleksi dari keresahan mendalam terhadap arah kebijakan pemerintah, terutama dalam pengelolaan anggaran negara. Mahasiswa menilai bahwa berbagai kebijakan efisiensi anggaran yang diambil pemerintah justru membawa dampak negatif yang luas, terutama bagi sektor pendidikan dan kesehatan.
Namun, di balik aksi mahasiswa yang menuntut transparansi dan efisiensi anggaran, muncul indikasi bahwa kebijakan efisiensi tersebut tidak tersosialisasikan dengan baik. Pemerintah tidak cukup optimal dalam menjelaskan tujuan dan mekanisme pengelolaan efisiensi anggaran kepada publik, sehingga terjadi kesalahpahaman dan ketidakpercayaan. Mahasiswa pun semakin skeptis karena dalam praktiknya, efisiensi anggaran sebenarnya tidak menyentuh dunia pendidikan.
Ironisnya, di tengah tuntutan perbaikan pengelolaan anggaran, sebagian mahasiswa justru mengusulkan pembatalan program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah program yang memiliki tujuan strategis dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang lebih unggul. Usulan ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dalam tuntutan mahasiswa, yang tidak sepenuhnya selaras dengan tujuan jangka panjang pembangunan nasional.
Krisis Pendidikan: Pemangkasan Anggaran dan Ancaman Kenaikan UKT
Salah satu pemicu utama aksi protes #IndonesiaGelap adalah kebijakan yang mengarah pada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri. Kenaikan UKT ini dianggap sebagai beban tambahan bagi mahasiswa dan keluarganya, terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.
Ironisnya, pemerintah selama ini menggaungkan komitmen untuk meningkatkan aksesibilitas pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun, kebijakan efisiensi anggaran justru berujung pada berkurangnya subsidi pendidikan dan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Mahasiswa menilai bahwa ini merupakan bentuk paradoks kebijakan yang tidak sejalan dengan janji pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam konteks ini, pemerintah belum secara optimal menjelaskan mengapa efisiensi anggaran tidak menyentuh sektor pendidikan. Jika pemerintah memiliki strategi alokasi anggaran yang lebih baik, seharusnya ada penjelasan transparan mengenai bagaimana dana pendidikan dapat tetap terjamin meskipun terjadi efisiensi.
Ketiadaan komunikasi ini menyebabkan mahasiswa merasa bahwa dunia pendidikan dikorbankan dalam kebijakan anggaran pemerintah. Seharusnya, pemerintah bisa lebih aktif dalam membuka ruang dialog agar mahasiswa memahami bahwa efisiensi tidak selalu berarti pemotongan anggaran secara serampangan, melainkan optimalisasi alokasi dana untuk hasil yang lebih efektif.
Kampus Harus Responsif terhadap Aspirasi Mahasiswa