namun, jika dikaji kembali mengenai kebijakan RUU KIA ini, malah-malah bisa saja diskriminasi dapat terjadi pada perempuan. Bagaimana tidak, bisa jauh lebih irit bukan, kalau di kantor yang ada hanya pekerja laki-laki saja?
"Mungkin saja, perusahaan bakalan mengurangi penerimaan karyawan perempuan, yang akhirnya berkurang juga peluang-peluang perempuan untuk berkarir"Â
Atau, alih-alih untuk menekan biaya yang dikeluarkan perusahaan, perusahan akan memberikan syarat yang tidak biasa, buat karyawan maupun lumrahnya buat para pekerja kontrak "kamu saya terima kerja disini, asalkan kamu bersedia tiga tahun tidak menikah, atau boleh aja menikah, tapi menunda kehamilannya" coba gimana tuh?Â
Ini bukan hanya masalah peningkatan beban finansial (biaya tenaga kerja), tapi juga beban non-finansial lain, seperti rekrutmen dan pelatihan tenaga pengganti, beban manajemen untuk mengatur subtitusi pekerja, peralihan tugas dari pegawai yang cuti kepada rekan kerja yang memiliki fungsi tugas yang kurang lebih sama di perusahaan.Â
Sementara itu, para pengusaha mendukung jika terkait kesehatan. Tetapi dampaknya harus dipikirkan secara matang.Â
"Kami juga berharap agar sinkronisasi RUU ini dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha. Serta dalam pembahasan RUU ini agar melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif," pungkasnya.
Menyamakan persepsi, dengan bermusyawarah guna mendapatkan satu kesepakatan yang tepat dan produktif kini tengah diharapkan oleh masyarakat, khususnya pelaku usaha. Harapannya pemerintah dapat mempertimbangkan, dan memutuskan kebijakan ini di kemudian hari dengan solusi-solusi yang akhirnya dapat menjawab dilema para pelaku usaha juga tetap mampu mendukung tujuan diberlakukannya RUU KIA demi keberlangsungan kehidupan sang Generasi Emas yang berkualitas.Â