"Perspektif Perempuan Muslim Terhadap Poligami: Antara Nilai Religius, Tekanan Sosial, dan Ketergantungan Ekonomi"
Pendahuluan
Poligami adalah salah satu topik yang terus menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat Muslim. Dalam ajaran Islam, poligami dibolehkan dengan syarat suami mampu berlaku adil kepada seluruh istrinya. Namun, dalam praktiknya, poligami sering kali menimbulkan berbagai masalah, terutama bagi perempuan. Banyak perempuan yang berada dalam pernikahan poligami harus menghadapi rasa cemburu, ketidakadilan, dan tekanan batin. Di sisi lain, ada juga perempuan yang menerima poligami karena keyakinan agama, tekanan sosial, atau karena tidak memiliki kemandirian ekonomi. Melalui esai ini, penulis mencoba merefleksikan bagaimana perempuan Muslim memandang poligami di tengah tuntutan nilai agama dan realitas sosial.
Isi
Bagi sebagian perempuan Muslim, poligami dianggap sebagai bagian dari ajaran agama yang harus diterima dengan ikhlas. Mereka menganggap bahwa jika dilakukan sesuai syariat, poligami bisa menjadi bentuk ibadah dan solusi bagi masalah sosial, seperti membantu janda atau perempuan yang kesulitan. Beberapa tokoh agama juga menguatkan pandangan ini dengan menyampaikan bahwa Nabi Muhammad SAW juga mempraktikkan poligami, terutama untuk tujuan kemanusiaan.
Namun kenyataannya, tidak semua perempuan mampu menerima poligami dengan lapang dada. Banyak istri pertama yang merasa tidak dihargai ketika suaminya memutuskan untuk menikah lagi tanpa diskusi atau persetujuan darinya. Mereka merasa cinta dan kesetiaannya tidak dianggap, dan bahkan sering disalahkan karena dianggap kurang taat jika menolak dimadu. Hal ini menunjukkan bahwa ada tekanan sosial yang cukup kuat agar perempuan tetap diam dan menerima keputusan suami, meskipun hati mereka menolak.
Selain itu, ketergantungan ekonomi juga menjadi salah satu alasan mengapa perempuan sering kali tidak berdaya dalam menghadapi poligami. Banyak perempuan yang tidak memiliki penghasilan sendiri, sehingga merasa takut kehilangan nafkah jika menolak atau menggugat cerai. Ketakutan akan menjadi beban keluarga atau tidak bisa membiayai anak-anak membuat mereka memilih bertahan meski terluka. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa poligami tidak hanya soal hukum agama, tapi juga soal struktur sosial yang belum sepenuhnya adil bagi perempuan.
Di sisi lain, semakin banyak perempuan Muslim yang mulai membaca ulang ayat-ayat tentang poligami dengan pemahaman yang lebih kontekstual. Mereka percaya bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan kasih sayang. Jika poligami justru membawa penderitaan dan ketidakadilan, maka semangat keadilan dalam Islam perlu ditegakkan kembali. Sebagian perempuan kini mulai berani menyuarakan haknya, termasuk menolak poligami secara terbuka dan menuliskan syarat dalam akad nikah agar tidak dimadu.
Penutup
Poligami memang dibolehkan dalam Islam, namun bukan berarti perempuan tidak boleh mempertanyakan atau menolak praktik yang membuatnya merasa terdzalimi. Perspektif perempuan Muslim terhadap poligami sangat beragam, tergantung pada latar belakang agama, pendidikan, kondisi sosial, dan ekonomi. Ada yang menerima karena keyakinan, ada pula yang terpaksa menerima karena tidak punya pilihan. Yang paling penting adalah memastikan bahwa setiap perempuan memiliki ruang untuk bersuara dan menentukan pilihan hidupnya dengan adil. Dalam Islam, keadilan adalah nilai utama. Maka dari itu, setiap praktik keagamaan, termasuk poligami, harus selalu dikaji kembali apakah benar mencerminkan keadilan yang diajarkan agama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI