Setelah tumbangnya Orde Baru pada 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang diharapkan membawa perubahan dalam sistem pemerintahan. Namun, peralihan dari sistem otoriter ke demokrasi tidak berjalan tanpa hambatan. Di tengah semangat reformasi, terjadi gesekan antara kekuatan baru yang mengusung perubahan dan kelompok lama yang masih memiliki pengaruh dalam struktur kekuasaan. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, menjadi simbol harapan akan reformasi saat menjabat sebagai presiden keempat Indonesia. Namun, di balik harapan tersebut, ia juga menjadi target utama dalam konflik politik yang terjadi. Masa kepemimpinannya dari 1999 hingga 2001 mencerminkan rapuhnya kekuatan reformasi secara struktural.(1)
Sebagai tokoh reformis, Gus Dur mengambil langkah-langkah signifikan yang menggoyahkan kenyamanan para elit lama. Ia membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dua lembaga peninggalan Orde Baru yang penuh kepentingan politis. Ia juga mendorong proses demiliterisasi dengan mengurangi keterlibatan militer dalam politik, serta mengakui eksistensi etnis Tionghoa dan agama Konghucu yang sebelumnya terpinggirkan.(2) Â Selain itu, Gus Dur membuka ruang kebebasan pers. Sayangnya, kebijakan progresif ini menimbulkan resistensi dari kalangan elit politik yang merasa posisinya terancam. Penolakan terhadap kepemimpinannya bertransformasi menjadi perlawanan yang terorganisir. (3).
Konflik memuncak ketika dua skandal besar Buloggate (Buloggate terkait dugaan penyalahgunaan dana Bulog sebesar Rp35 miliar yang melibatkan orang dekat Gus Dur) dan Bruneigate (terkaitan dengan sumbangan sebesar 2 juta dolar AS dari Sultan Brunei yang diduga tidak dilaporkan secara resmi ke negara) Â muncul ke permukaan. Meskipun tidak ada bukti hukum yang kuat, isu ini dijadikan senjata politik untuk merusak kredibilitas Gus Dur di mata masyarakat dan parlemen. DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut. Situasi semakin memburuk karena Gus Dur dianggap tidak mampu menjaga stabilitas nasional dan terlalu otoriter dalam mengambil keputusan. Namun, belakangan terungkap bahwa dua kasus ini hanya bagian dari rencana sistematis untuk menjatuhkannya. Dalam buku Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama, terungkap sebuah dokumen bernama "Skenario Semut Merah" yang ditulis oleh Fuad Bawazier dan dikirimkan kepada Akbar Tanjung. Dokumen tersebut memuat strategi untuk menjatuhkan Gus Dur dengan memanfaatkan media, tekanan politik, dan isu-isu sensitif lainnya.
Dokumen itu menunjukkan bahwa sejumlah elit dari berbagai partai politik, termasuk tokoh seperti Amien Rais dan Megawati, diduga turut berperan dalam konspirasi tersebut. Kekuatan lama yang merasa terancam oleh arah reformasi berupaya menyatukan kekuatan melalui parlemen, media massa, hingga kelompok mahasiswa. Militer dan aparat keamanan juga menunjukkan sikap pasif terhadap Gus Dur, yang memperlihatkan bahwa dukungan dari institusi penting negara mulai menghilang. Krisis mencapai puncaknya pada 23 Juli 2001, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit yang membubarkan DPR dan MPR, membekukan Partai Golkar, serta menjanjikan pemilu baru dalam satu tahun ke depan. Dekrit tersebut segera ditolak, dan hanya beberapa jam kemudian, MPR menggelar sidang istimewa yang berujung pada pemakzulan Gus Dur. (5).
Peristiwa ini bukan sekadar pergantian presiden, melainkan mencerminkan lemahnya struktur demokrasi yang masih dikuasai oleh kekuatan oligarkis. Dalam kerangka teori elit, terlihat bahwa Gus Dur berhadapan langsung dengan warisan elit Orde Baru yang mampu menyesuaikan diri dalam sistem baru.(6) Sedangkan dari sudut pandang teori konflik, pertarungan antara nilai reformasi dan kepentingan lama menjadi inti dari dinamika politik saat itu. Alih-alih menjadi momentum perubahan, era reformasi justru dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk kembali menguasai panggung kekuasaan.
Meski Gus Dur tidak berhasil mempertahankan jabatannya, ia meninggalkan warisan penting dalam memperluas ruang demokrasi dan memperjuangkan keberagaman yang sebelumnya ditekan. Warisan tersebut masih relevan hingga kini, menjadi pengingat bahwa demokrasi membutuhkan keberanian dalam menghadapi kekuatan lama yang masih beroperasi dalam sistem baru. Pengalaman pahit Gus Dur memperlihatkan bahwa transisi demokrasi lebih dari sekadar pergantian penguasa, tetapi juga perjuangan berkelanjutan melawan kekuatan lama yang belum sepenuhnya hilang. (7).
Sumber Referensi :
1. Barton, G. (2002). Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President. UNSW Press.
2. Royani. (2022). Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur); Islam, NKRI dan ekonomi Islam. Iqtishodiah: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah, 4(1), 11--25.
3. Zulfandika, A. A., & Wulandari, S. C. (2024). Analisis nilai-nilai kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pendidikan moderasi beragama. WASIS: Jurnal Ilmiah Pendidikan, 5(1).
4. Utama, V. R. (2020). Menjerat Gus Dur. NU Media.