Mohon tunggu...
nur aini
nur aini Mohon Tunggu... Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Janji Reformasi yang Hilang Ketika Hukum Menjadi Alat Kekuasaan

25 Juni 2025   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2025   16:41 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/op5A27ptbn6SADnC7

Lebih dari dua puluh tahun sejak runtuhnya rezim Orde Baru, semangat reformasi yang dulu membakar harapan rakyat kini seperti redup di tengah kenyataan hukum yang penuh kontradiksi. Janji tentang keadilan yang merata dan sistem hukum yang bebas dari intervensi politik kerap digaungkan oleh pemimpin negeri ini, namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Sistem hukum Indonesia hari ini seolah hidup dalam pusaran kepentingan, di mana hukum tidak lagi menjadi penentu keadilan melainkan alat politik yang dikendalikan oleh elite penguasa. Ketimpangan penegakan hukum begitu nyata. Para pejabat tinggi yang terseret kasus korupsi kerap mendapat perlakuan istimewa, sementara rakyat kecil diproses dengan cepat dan tanpa kompromi. Independensi penegak hukum dipertanyakan. Penindakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah menjadi pemandangan yang semakin umum terjadi.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dulu menjadi lambang keberanian dan integritas dalam memberantas korupsi kini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Sejak revisi Undang Undang KPK disahkan pada 2019, lembaga ini perlahan kehilangan taringnya. Penyidik senior dipinggirkan, ruang gerak penyelidikan dibatasi, dan pengaruh Dewan Pengawas yang ditunjuk Presiden justru memperkuat kesan bahwa KPK tidak lagi independen. Beberapa waktu terakhir, publik juga dikejutkan oleh dugaan praktik pungli di rumah tahanan KPK yang dilakukan oleh pegawai internalnya sendiri. Situasi ini menjadi ironi pahit bagi sebuah lembaga yang seharusnya berdiri di garda terdepan dalam memerangi korupsi. Ketika harapan publik terhadap lembaga antirasuah mulai memudar, muncul pertanyaan besar apakah perjuangan melawan korupsi masih memiliki masa depan di negeri ini.

Belum selesai publik mencerna pelemahan KPK, muncul revisi Undang Undang Mahkamah Konstitusi yang disahkan secara tergesa gesa pada tahun 2024. Perubahan aturan ini memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi dan mengubah mekanisme seleksi hakim yang dinilai membuka celah semakin lebarnya intervensi politik terhadap lembaga yudikatif tertinggi tersebut. Padahal Mahkamah Konstitusi memegang peran vital dalam menjaga konstitusi dan menangani sengketa pemilu. Ketika hakim yang seharusnya netral justru diduga berpihak pada kepentingan tertentu, maka kepercayaan publik terhadap proses demokrasi pun ikut tergerus. Reformasi hukum bukan sekadar soal aturan tetapi tentang menjaga integritas lembaga negara agar tetap berpihak pada rakyat bukan pada elite kekuasaan.

Sementara itu di lapangan rakyat kecil dan aktivis lingkungan terus menjadi korban. Di Pulau Rempang, masyarakat adat yang mempertahankan tanah leluhur mereka justru mendapat tekanan aparat. Di Wadas dan Pulau Sangihe aktivis lingkungan dikriminalisasi hanya karena menolak tambang yang merusak ruang hidup mereka. Mereka dijerat dengan pasal pasal karet seperti mengganggu ketertiban umum atau menghambat proyek strategis nasional. Situasi ini memperlihatkan bahwa hukum lebih berpihak pada korporasi dan kekuasaan ketimbang kepada rakyat yang memperjuangkan hak dasarnya. Ketika masyarakat menggunakan hak konstitusional untuk bersuara justru dibungkam dengan dalih keamanan dan pembangunan maka jelas bahwa hukum telah disalahgunakan sebagai alat represi.

Dalam konteks tahun politik yang baru saja dilalui publik semakin menyadari bahwa hukum sering kali dijadikan alat untuk mengamankan kekuasaan bukan untuk menegakkan keadilan. Sengketa hasil pemilu diputuskan oleh lembaga yang integritasnya dipertanyakan. Putusan putusan penting diambil dalam suasana politik yang sarat tekanan. Situasi ini menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Masyarakat yang semakin melek informasi dan kritis kini tidak bisa lagi dibungkam dengan janji janji reformasi yang kosong. Mereka menuntut transparansi akuntabilitas serta partisipasi dalam pengawasan proses hukum. Jika negara terus gagal memperbaiki sistem hukum dari akarnya maka ketidakadilan akan semakin mengakar dan kepercayaan publik akan benar benar runtuh.

Reformasi hukum tidak boleh berhenti di atas kertas atau menjadi jargon politik semata. Ia harus diwujudkan melalui langkah konkret yang berani dan konsisten mulai dari pembenahan institusi pembentukan mekanisme pengawasan independen hingga perubahan budaya hukum di semua lini. Hukum harus kembali ke fitrahnya yaitu melayani keadilan dan melindungi hak warga negara tanpa pandang bulu. Jika ini gagal diwujudkan maka Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi ketidakadilan dan pembungkaman. Dan di situlah janji reformasi akan benar benar kehilangan makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun