Mohon tunggu...
Aiman Witjaksono
Aiman Witjaksono Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan TV

So Called Journalist

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Siapa di Belakang "Indonesia Barokah"?

3 Februari 2019   10:26 Diperbarui: 3 Februari 2019   11:22 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Obor Rakyat kini ada Indonesia Barokah. Bedanya yang pertama memojokkan capres 01 Joko Widodo, yang kedua sebaliknya menulis sarkas Capres 02, Prabowo Subianto. Jika Obor Rakyat pembuatnya telah divonis penjara, Indonesia Barokah masih dikaji kemungkinan penyebaran fitnah dan pencemaran nama baik olehnya.

Lepas dari itu, keduanya bagian dari kampanye negatif, bahkan Obor Rakyat telah divonis tanpa fakta, yang artinya merupakan kampanye hitam! Sementara Tabloid Indonesia Barokah, masih menunggu hasil dari Dewan Pers dan Proses hukum. 

Meski terindikasi hal yang sama alias Kampanye Hitam, karena ketidakjelasan data yang ada di dalam tabloid itu. Inilah tabloid yang mengiringi Pilpres serentak yang pertama kali digelar di sepanjang sejarah negeri ini berdiri.  

Kampanye hitam dan negatif punya arti yang berbeda namun tujuannya sama, menyoroti hal buruk dari pasangan calon. Bedanya kampanye negatif menggunakan data dan fakta yang benar. Sementara kampanye hitam menggunakan sebaliknya, berita bohong alias Hoax.

Antara "Obor Rakyat" & "Indonesia Barokah"

Jika Obor Rakyat yang terbit pada 2014, disidang dan terbukti bersalah terjerat pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah serta penghinaan pada putusan sidang tahun 2016. Pelakunya Pemimpin Redaksi Setiyardi Budiono serta Redaktur Darmawan Sepriyossa divonis masing - masing delapan bulan penjara. 

Maka berdasarkan putusan hakim (yang pada awal proses hukum disimpulkan oleh Dewan Pers) dipastikan Obor Rakyat yang terbit 2014 bukan produk jurnalistik. Obor Rakyat kala itu adalah bentuk Kampanye Hitam.


Lalu apakah Indonesia Barokah yang terbit beberapa hari terakhir juga bagian dari kampanye hitam? Program AIMAN yang tayang pada Senin (28/1) pukul 20.00 wib di KompasTV mengupasnya.

Isi Obor Rakyat yang merupakan Fitnah adalah soal Capres Jokowi yang kala itu dikatakan kaki tangan dan keturunan Tionghoa, serta antek asing.  Sementara Indonesia Barokah yang terdiri atas 10 artikel menyinggung gerakan 212 sebagai gerakan politik dimana Capres Prabowo Subianto punya peran besar dalam gerakan ini. 

Artikel lainnya, ditampilkan foto Prabowo Subianto layaknya sosok yang sedang murka dengan tangan mencengkeram. Di bawahnya terdapat judul: Prabowo Marah, Media dibelah!  

Pers yang Menuruti Perintah Kelompok

Sesungguhnya mudah melihat apakah suatu karya merupakan karya Jurnalistik atau tidak. Kunci pertama adalah cek dan ricek dari isu yang ditampilkan. Dalam buku "The Uncertain Guardian" (Sparrow, 1999) disebutkan Pers berdiri atas isu yang harus diklarifikasi. Ia menjadi institusi yang menguji apakah suatu isu benar atau tidak dari sebuah fenomena berdasarkan nurani. 

Jika berhasil maka Lembaga Pers menjadi Penjaga (Attack Dog), sebaliknya jika Pers berangkat dari isu yang bukan dari nurani tetapi dari perintah institusi terkait sebuah kepentingan kelompok atau golongan (Ordered News), maka ia menjadi lembaga yang tak andal dan menjelma menjadi institusi yang tak mempu menjadi penjaga publiknya (Lap Dog).  

Kunci verifikasi dilakukan dengan rigid dan detail. Apakah isu ini hanya isu yang berkembang tanpa dasar fakta alias hanya berupa rumor belaka. Tak layak media massa berangkat mengangkat isu dari rumor bukan fakta. Inilah yang membedakan antara Media Mainstream (Media Arus Utama) dengan Media Sosial.

Sebaliknya, setelah informasi bukan  dinyatakan benar dan bukan rumor, meski hasilnya pahit bagi-katakanlah-salah satu calon. Maka hasilnya tetap layak diangkat dalam sebuah produk jurnalistik.

Lalu, langkah kedua yang tak boleh dilewati adalah memberikan hak bagi pihak "tertuduh" untuk menjelaskan hal yang dimaksud (cover both-sides) sebagai bagian dari verifikasi.  Dari dua langkah ini, sesungguhnya sudah bisa ditarik kesimpulan apakah isi dari media produk jurnalistik atau bukan. 

Disamping faktor - faktor lain seperti kejelasan badan hukum beserta alamat kantor dan siapa wartawan yang bertanggung jawab dan berada di balik karyanya - seperti yang disyaratkan oleh Undang - Undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Lepas dari persoalan ini. Ada kesamaan antar dua Tabloid Obor Rakyat & Indonesia Barokah. Dua tabloid  di dua periode pilpres ini disebar di lokasi yang sama; Masjid dan Pesantren, mengapa?

Menjadi pertanyaan menarik!

Arah Pemilih pada Swing Voters
Saya akan coba membedah pada kondisi dan perilaku memilih (voting behavior). Sejak Pilpres 2014, pemilih Islam menjadi pemilih yang disasar oleh kedua pasangan calon. Isu - isu terkait pemilih Islam juga selalu muncul secara jelas dalam kontestasi politik jelang pemilihan di dua periode tersebut.

Meski Obor Rakyat menolak dikaitkan dengan pasangan calon tertentu, tetapi arah isi dari Obor Rakyat jelas hendak membalikkan pemilih dari Jokowi ke Prabowo. Sebaliknya juga yang terjadi pada Indonesia Barokah. Meski Belum tampak siapa yang berada di balik Indonesia Barokah. Tetapi kecenderungan membalikan pilihan dari Prabowo ke Jokowi, juga jelas adanya.

Fenomena Swing Voters bisa menjawabnya. Hasil penelitian Litbang Kompas (Oktober 2018), Swing Voters alias pemilih yang masih bimbang menentukan pilihan masih berjumlah 30 persen. 

Jika ditambahkan dengan Undecided Voters alias calon pemilih yang belum menentukan pilihan (sebesar 14,2 persen), maka jumlah total orang yang bisa beralih pilihan dari Capres 01 ke 02 dan sebaliknya adalah 44 persen lebih. 

Angka yang luar biasa dan menentukan pemenang Pilpres 2019.  Baik pada Pilpres 2014 maupun 2019 pemilih Islam yang jumlahnya mayoritas menjadi penentu kemenangan. Perebutan pemilih Islam yang berawal dari Pemilu 2014, tampaknya terus berlanjut hingga 2019.

Pertanyaannya apakah berpengaruh kampanye-kampanye hitam yang tak berbasis fakta yang bergentayangan ini?  

Di sini berlaku adagium, Informasi yang terus dihembuskan, akan muncul sebuah keyakinan! Tapi sayangnya, keyakinan ini membentuk kesadaran palsu akan rasionalitas masyarakat. Semakin banyaknya informasi yang masuk ke benak warga, akan mengacaukan logika berpikir mereka. 

Kemunculan masyarakat yang tak lagi kritis, tapi sebaliknya menggunakan kehendak kelompok dari pihak manapun yang bisa memberikan kepuasan bagi ego dirinya. Sungguh kondisi yang rentan bagi terjadinya perpecahan di masyarakat.

Pertanyaannya, apakah ini yang dikehendaki oleh siapapun pemenang nantinya?

Saya Aiman Witjaksono

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun