Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Positifnya Teroris

2 April 2021   17:12 Diperbarui: 2 April 2021   17:28 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Adakah yang baik dari rupa para teroris? Adakah imbas positif dari tindakan meneror orang dengan Molotov dan sejenis lainnya? Orang Filsafat biasanya bertanya: apakah terorisme itu baik di dalam dirinya? Orang ekonomi akan bertanya: apa manfaat ekonomis dari membom diri dan orang lain? Orang teologi juga pasti bertanya-tanya: apakah imbalan Tuhan untuk para teroris yang lantang meneriakan nama Allah saat hendak meledakan diri? Jawabannya bervariasi, tetapi kurang lebih berada pada dua kutub: ada efek baik atau tidak ada sama sekali.

Untuk menjawab dengan pasti, suara gerombolan teroris tentu saja krusial. Sebagai insan  berakal, tentu saja seorang teroris memiliki pertimbangan dan alasan di balik ketekadan untuk mengakhiri pertualangan nyawanya dan nyawa orang lain. Adagium klasik berbunyi, "everything happens for a reason", segala sesuatu yang terjadi pasti memboncengi alasan tertentu. Bahkan tidak ada alasan sama sekali, absurd, itu juga sebuah alasan: alasan bahwa tidak ada alasan.

Karena tidak ada secuil pun bongkahan suara dari teroris atau para mantan, mari kita menalar sendiri berdasarkan puing-puing kecil bekas bom bunuh diri atau teror bentuk lainnya. Artikel ini ingin mencari tahu: apakah ada yang positif dari aksi teroris di gereja Makasar dan Mabes Polri untuk warga Kristen?

Anomali, bukan simpton      

Simpton sosial atau biologis bisa dideteksi dan didiagnosis. Simpton adalah masalah biasa sehingga mudah untuk diatasi, ditelaah secara rasional, dan dijawab dengan objektif. Adapun anomali adalah gejala sosial yang distorsif, berada di luar track masalah sebelumnya. Simpton menimbulkan lompatan epistemologis (epistemological shift) sehingga cara berpikir lama harus diubah untuk mengakomodir aspirasi baru. Simpton menuntut perubahan paradigma, tidak sekadar perspetif. Otot harus direnggang, otakpun harus diputar.

Terorisme itu anomali. Hampir tidak ada yang menarik dari membunuh diri dengan bom. Tidak ada untungnya. Ruginya lebih banyak. Apa yang bisa diraih seseorang kalau dia sudah kehilangan hidupnya? Mungkin manfaat dari aksis teror bom bunuh diri adalah menimbulkan ketakutan pada banyak orang sebagaimana diklaim para eks-teroris dan jagoan-jagoan sok tau pergulatan para teroris. Soalnya, apakah setelah meninggal, darimana seorang teroris mendapatkan informasi bahwa aksi akrobatiknya yang kebablasan menimbulkan horor, bukan humor?

Kemungkinan manfaat lain, seperti juga laris dijual di dalam banyak wacana, para teroris mendapatkan imbalan saat setelah meninggal. Misalnya, mendapatkan pelayanan free dari sekian banyak bidadari. Jawaban ini, yang tidak ada seorangpun yang bisa memastikan karena berada di luar akses jaringan manusia, masih dipersoalkan. Beruntung bila bidadarinya berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Ada juga pengantin bom bunuh diri yang berjenis kelamin perempuan. Namun, jawaban seperti ini sangat problematis. Pelaku dan aktor intelektual yang mendesain serangan belum pernah meninggal, tidak pernah bertamasya ke surga. Darimana ia tahu dan yakin kalau sekelompok bidadari akan menyambut dirinya bak pahlawan perkasa yang pulang sehabis memenangkan pertempuran besar?

Masalah lain, mungkin saja jawaban-jawaban di atas adalah upaya pencarian jawaban rasional atau rasionalisasi yang dibuat para pengamat untuk memuaskan dahaga keingintahuannya. Jadi, klaim manfaat di atas tidak berasal dari istana teroris, tetapi dari gubuk pengamat.

Tidak ada jawaban yang pasti untuk soal ini kalau koridornya adalah rasionalitas. Namun sekali lagi, terorisme itu bukan soal rasionalitas. Terorisme menjungkirbalikan klaim otoritas rasionalitas. Kaum teroris adalah pembangkang antogonis simetris atas rasionalitas.

Kalau manfaat dari aksi teror tidak didapatkan pelaku sendiri, warga non-teroris justru dapat mengais manfaat entah material entah nilai untuk kehidupan kelompok dan individu. Misalnya, secara politis, aksi terorisme dapat menimbulkan riak-riak sosial yang meredam popularitas politisi tertentu sekaligus pada saat yang sama menaikan nilai jual politisi lain. Secara ekonomis, pengeboman akan mengganggu instabilitas ekonomi. Investor asing akan berpikir-pikir untuk membangun perusahan atau berinvestasi di Indonesia. Keamanan dan ketertiban adalah kunci laju ekonomi. Namun, investor lain dapat mencuri kesempatan dalam kesempitan. Kekhaosan yang dihasilkan teror mengusir investor lain, tetapi membuka jalan lebar bagi investor tertentu untuk menjadi pemain tunggal. Sehingga semua kebutuhan warga setempat disuplai oleh satu pemasok.

Secara akademis pun terdapat manfaatnya. Terorisme adalah bagian dari gejala sosial. Karena itu, dapat menjadi objek kajian yang menantang dan menarik. Karena menantang, nilai jual kajian pasti lebih besar dan laris. Banyak dana lantas dikucurkan untuk meneliti. Yang diuntungkan adalah penelitinya. Efek positif untuk orang lain belum tentu karena hasil penelitian adalah framing peneliti sehingga tidak bebas kepentingan dan rekayasa.

 Manfaat teror pada pekan suci

Bila pendekatan lain dapat menemukan sisi positif terorisme, apa manfaat teror bom bunuh diri Makasar dan Mabes Polri untuk kaum Kristen Indonesia pada Pekan Suci 2021? Pertanyaan ini jelas spesifik: manfaat teror bagi kaum Kristen, pada Pekan Suci, dan di Indonesia. Jadi, sasaran tulisan ini adalah imbas teror gereja Katedral Makasar dan Mabes Polri, tidak semua aksi teror dan paham terorisme. Mengapa termasuk Mabes Polri? Kalau Mabes Polri saja dapat diserang, pihak mana yang dapat luput dari gangguan teroris? Sasarannya adalah bagi orang Kristen, tidak untuk semua kalangan. Selama fase Pekan Suci yang terbentang dari Minggu Palma hingga Minggu Paskah, bukan kapan saja.

Pembatasan di atas penting untuk mencegah multi dan misinterpretasi atas tulisan ini. Tulisan ini tidak dibuat untuk menambah panasnya hati Indonesia, apalagi mengompor aparat keamanan yang menghabiskan seluruh detik hidupnya untuk melindungi warga dari teror. Goresan ini hanya untuk menyambung rasa warga Indonesia yang terkejut dan ketakutan dengan bom Makasar dan menggali lebih dalam makna gejala ini agar umat Kristen tidak terjebak di permukaan.

Perayaan Pekan Suci bagi umat Kristen, terutama Katolik, adalah pementasan kembali kisah Yesus 2000-an tahun silam di Palestina. Kala itu Yesus memasuki Yerusalem, disambut meriah oleh para pengikut Yesus yang membentangkan daun palma di jalan yang dilewati Yesus dengan seekor unta. Karena itu, Minggu pertama dalam pekan suci disebut juga Minggu Palem. Yesus lalu berderap menuju Yerusalem dan berkarya di sana. Di dalam Yerusalem, Yesus nanti disambut dengan kertakan gigi ribuan orang. Yesus divonis bersalah karena pengkhianatan Yudas, salah satu murid Yesus. Yesus lalu dijatuhi hukuman mati, yakni disalibkan di puncak Bukit Golgota. Sepanjang perjalanan menuju Golgota, Yesus harus memikul salib-Nya. Tidak terhitung berapa kali tangan dan rotan berduri menempel di tubuh Yesus. Juga tidak terakumulasi berapa kali wajah Yesus diludahi dan dihujam dengan kata-kata fitnah. Tubuh Yesus seolah dipanggang di bawah terik di lorong-lorong Yerusalem. Dibantu Simon Kirene, Yesus lalu tiba di puncak Golgota. Pakaian Yesus ditanggalkan. Kedua tangan dan kaki Yesus dipaku pada kayu salib yang dipikul. Tanpa pembiusan, Yesus dipaku hidup-hidup. Ia dipaksa untuk melepaskan nyawanya. Yesus menahan penderitaan kejam itu hingga Ia menghembuskan nafas terakhir di atas salib.

Sebagaimana dikisahkan para penulis injil, yang kala itu entah menyaksikan langsung entah mendengar kisah sengsara Yesus dari murid-murid Yesus, Yesus memang dengan sadar mengunjungi Yerusalem sebagai tempat terakhir perziarahannya di bumi. Yesus sadar bahwa ia hanya bisa menebus seluruh umat manusia dari dosa melalui penderitaan sampai titik nadir dan kebangkitan. Yesus tahu, kemuliaan dirinya dan kebahagiaan seluruh umat manusia hanya dapat ia peroleh melalui penderitaan. Jadi, penderitaan Yesus sepanjang lorong gelap Yerusalem hingga penyaliban adalah jalan menuju kemuliaan dan kebangkitan. Tidak ada kebangkitan tanpa jalan pahit ini. Bak menyeruput kopi pahit. Semakin pahit, semakin asli kopinya. Jalan salib Yesus adalah jalan pahit. Semakin pahit jalannya, penderitaan Yesus sampai ke titik terendah, semakin tampak kemuliaan Yesus. Salib bukan penghinaan atau kebodohan, tetapi simpul pemuliaan Yesus.

Semua orang yang mengamini diri sebagai pengikut Yesus Kristus niscaya menerima jalan pahit Yesus sebagai cara istimewa menuju kemuliaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan. Tidak ada kemuliaan tanpa salib. Maka, penderitaan bukan tanpa makna, absurd untuk orang Kristen. Semakin menderita, orang Kristen semakin merasakan jalan pahit Yesus menuju kebangkitan. Di dalam penderitaan, orang Kristen menemukan kebahagiaan sejati.

Bila tragedi pengeboman Makasar dan Mabes Polri mendatangkan ancaman, bermaksud mengacaukan umat Kristen sehingga tidak dapat merayakan Pekan Suci dengan khidmat dan bahagia, para teroris salah kaprah. Aksi brutal mereka dengan niat jahat tersebut justru membuat orang Kristen semakin merasakan jalan pahit Yesus. Justru di dalam ancaman kematian oleh teror bom, orang Kristen semakin nyaman dan bahagia merayakan Pekan Suci. Todongan bom oleh para teroris semakin menguatkan iman orang Kristen untuk menapaki jalan salib Yesus. Di sinilah letak positifnya teror bom bagi kalangan Kristen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun