Mohon tunggu...
aii nan
aii nan Mohon Tunggu... Pelajar

Nature is a healer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sampai Maaf Tak Lagi Berarti

23 September 2025   23:31 Diperbarui: 23 September 2025   23:31 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di suatu kantin sekolah swasta, saat waktu menunjukkan pukul 12 siang. Siang itu, kantin sekolah riuh seperti sebuah pasar kecil. Harum gorengan dan mie instant saling beradu dengan teriakan pedagang dan canda tawa siswa yang berdesakan. Silvia, yang baru saja keluar dari kelas setengah berlari menghampiri bangku tempat sahabat-sahabatnya nongkrong. Dia datang dengan wajah berseri dan mata berbinar seolah menyimpan kabar besar. "Guys, besok aku bakal bawain kalian brownies matcha buatan mamaku," Katanya dengan penuh semangat. "Kalian pasti ketagihan, sumpah deh!" Tania yang mendengar itu menatapnya ragu, sambil memainkan sendok mie ayamnya dia pun nyeletuk, "Beneran nih, Sil? Jangan cuma ngomong aja lho ya." Sedangkan Ucup yang sedang menggigit bakwan hanya mendengus kecil dan berkata "Kita lihat saja besok."

Keesokan harinya, Silvia datang dengan langkah terburu-buru. Nafasnya sedikit tersengal, tangannya kosong. Wajahnya menegang beberapa detik, lalu berubah jadi senyum kikuk.“Eh… guys maaf ya, aku lupa bawa donatnya. Mamaku juga kemarin sibuk. Tapi besok aku bawain, janji deh.” Tania yang tengah bermain HP di bangkunya menghela napas panjang. Kemudian ia menatap Silvia lekat, sembari berkata "Hm, iya gapapa, Sil." Dan Ucup yang duduk di sebelah Tania juga hanya menjatuhkan bahu, ekspresinya datar entah apa yang ada di pikirannya sekarang. 

Hari-hari berikutnya janji baru telah keluar dari mulut Silvia. Janji yang lalu sakan lewat begitu saja. Kali ini Silvia berkata ia akan membawa bola bekel untuk bermain sore dengan sahabatnya. “Serius, aku bawain bola bekel yang lebih bagus, bola bekel ku itu masih baru beli lho. Nanti pasti mainnya bakal puas banget.” Suaranya mantap, bahkan ia menepuk dadanya sendiri untuk meyakinkan. 

Sore itu, lapangan sekolah berwarna keemasan disinari matahari yang mulai condong. Angin membawa debu tipis, terdengar suara anak-anak lain sedang tertawa gembira. Di tepi lapangan berdiri Tania dan Ucup yang sedang menunggu seseorang. Dari kejauhan terlihat Silvia yang sedang berlari kecil ke arah Tania dan Ucup. Orang yang ditunggu mereka pun akhirnya datang, dengan terlambat. Wajah Silvia terlihat menahan canggung, dan di tangannya tidak terlihat sebuah bola bekel. Ternyata benar Silvia tidak membawanya. “ Duh, maaf guys, tadi bolanya ketinggalan di rumah. Besok aku ambil, beneran kali ini.” Ucap Silvia dengan wajah sedih dan mengangkat dua jari tangannya. Mata Tania menyipit, rahangnya mengeras. “Sil, kamu tuh berkali-kali bilang ‘maaf’. Tapi hasilnya sama aja tau.” Silvia nyengir kaku, menggaruk belakang kepala. “Ya ampun, Tan, jangan marah gitu dong. Namanya juga lupa, semua orang pasti pernah gitu. Aku juga kan udah bilang maaf.” Ucup menatap Silvia lama, matanya teduh tapi jelas menyimpan kecewa. “Masalahnya bukan di maaf, Sil. Kami tuh capek. Setiap kamu ngasih janji, ga pernah tuh kamu tepati. Omongan kamu tuh ga pernah bisa dipegang tau. Dan semua kata maaf mu itu ...jadi ga berarti.” Ucup mulai tersulut amarah. Setelah perselisihan kata itu berakhir, mereka pun pulang dengan emosinya masing-masing. 

Beberapa hari kemudian, saat Mushola sekolah sepi selepas sholat Ashar. Hanya suara kipas tua berderit, dan cahaya oranye sore menembus jendela kayu. Tania berdiri menunggu Silvia selesai melipat sajadah, lalu duduk di sampingnya.“Sil,” suaranya lembut tapi tegas, “kamu tau nggak, Rasulullah pernah bilang, tanda orang munafik itu kalau ngomong bohong, kalau janji ingkar, kalau dipercaya malah berkhianat. Kamu nggak mau kan dianggap begitu?” Silvia menunduk, jemarinya meremas ujung rok seragam. Wajahnya agak pucat, tapi cepat-cepat ia berkata, “Aku nggak mau, Tan. Besok aku bakal berusaha nggak gitu lagi. Aku janji.” Tania menghela napas, menatap langit-langit Mushola seolah mencari sabar, lalu akhirnya tersenyum tipis. Tania memang kecewa dengan sahabatnya, tapi dia tidak akan terus membiarkan sahabatnya seperti itu.

Namun keesokannya, janji itu lagi-lagi hampa. Silvia kembali dengan wajah penuh senyum canggung dan kata maaf yang terdengar manis di permukaan, tapi makin terasa hambar di telinga teman-temannya. Sampai suatu sore, di lapangan yang dipenuhi cahaya keemasan, Ucup akhirnya bicara lantang. Matanya menatap lurus, suaranya berat tapi jelas, "Cukup, Sil! Kita nggak bisa terus-terusan denger kata maaf mu itu tanpa lihat bukti. Percaya itu bukan cuma kata, tapi tindakan, Silvia.” Kata-kata itu seketika menghantam dada Silvia seperti batu yang dilempar ke kaca. Bibirnya terbuka, ingin berkata maaf lagi, tapi suara itu tersangkut di tenggorokannya. Untuk pertama kalinya, ia sadar dan merasa kata "maaf" yang begitu sering ia ucapkan ...tak lagi berguna.

Di malam hari, kesunyian menyebarkan di seluruh kamar Silvia. Jam dinding berdetak lambat, kipas berputar lesu. Silvia berbaring menatap langit-langit, matanya basah. Dia menangis dalam remang-remang cahaya. Dan dalam remang ia berbisik lirih,“Ya Allah, aku udah terlalu sering ingkar janji. Aku udah sering bohong dan berlebihan. Dan aku juga udah sering bilang maaf yang gak ada artinya. Ya Allah, tolong jangan biarkan aku terus mempermainkan janji dan maaf…” Setelah itu Silvia pun tertidur dengan mata yang sembab karena lelah menangis. 

Pada esok harinya, Silvia memberanikan diri menemui dia sahabatnya itu di kantin. Wajahnya lelah, tapi suaranya kali ini tenang.“Tania, Ucup, kalian mungkin udah muak denger aku minta maaf. Tapi sekarang aku sadar, maaf itu nggak berarti tanpa bukti. Aku nggak mau lagi jadi orang yang ngomong besar tapi kosong. Dan aku juga nggak mau jadi orang yang munafik. Jadi, Mulai hari ini aku pengen berubah, walau pelan-pelan.” Tania menatapnya dengan sorot hati-hati, sementara Ucup masih terdiam. Lalu Tania berkata lirih, “Sil, kami seneng kamu mau berubah. Perubahan itu nggak instan, tapi kalau kamu serius, Allah pasti kasih jalan yang mudah.” Tania dan Ucup tersenyum bangga. Kemudian mereka saling merangkul tertawa haru. 

Sejak hari itu, Silvia belajar menahan diri. Ia berhati-hati dengan ucapan, dan berusaha tidak lagi mengobral janji. Berat memang, sering kali lidahnya gatal ingin berbohong kecil. Tapi ia ingat sorot kecewa teman-temannya, dan lebih dari itu peringatan tentang sifat munafik yang begitu ditakutinya.

Kepercayaan itu bukan dibangun dari kata-kata indah atau maaf yang sering diucapkan, melainkan dari janji yang ditepati dan kejujuran yang dijaga. Dalam Islam, janji adalah amanah, dan mengingkarinya bisa menyeret kita pada sifat munafik. Sungguh, lebih baik berkata sederhana tapi benar, daripada menjanjikan banyak hal yang berujung kosong.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun