Mohon tunggu...
Aidil Fikri
Aidil Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mancing, ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan Harga BBM dan Quo Vadis Angkutan Publik

16 Oktober 2022   17:03 Diperbarui: 16 Oktober 2022   17:10 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketiadaan opsi angkutan publik yang layak, membuat warga tidak mampu semakin terhimpit. Mereka " Dipaksa" Untuk menyicil kendaraan sembari menambah ongkos pembelian bahan bakar. Gaji kecil pun harus terkuras habis"

Beban anggaran negara dalam memberikan subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Dari APBN awal tahun 2022 sebesar 152,5 triliun menjadi 502,4 triliun atau meningkat tiga kali lipat. 

Kenaikan harga BBM menjadi keputusan yang harus diambil. Dampaknya bagi warga sangat besar. Harga komoditas naik dan tingkat inflasi terkerek, tak terkecuali biaya transportasi. 

Namun beban transportasi sering kali luput dalam penanggulangan dampak kenaikan harga BBM. Operasi pasar digelar saat kebutuhan pokok naik, tidak demikian dengan biaya transportasi. 

Ongkos transportasi lebih banyak diidentikan pada biaya logistik dan biaya pengangkutan sebagai pembentuk harga barang dan jasa. Padahal kenaikan BBM juga memengaruhi kemampuan mobilitas masyarakat. 


Dalam sebuah penelitian, penduduk di kota-kota besar di indonesia menghabiskan setidaknya 40% dari total pendapatannya untuk biaya transportasi. Jumlah tersebut bertambah hingga 3,5 kali lipat bila menggunakan kendaraan pribadi. 

Ketiadaan opsi angkutan publik yang layak., membuat warga tidak mampu semakin terhimpit. Mereka "dipaksa" Untuk menyicil kendaraan sembari menambah ongkos pembelian bahan bakar, gaji kecil pun harus terkuras habis. 

Masyarakat kelas menengah berada pada posisi dilematis. Banyak dari mereka adalah pengguna kendaraan entry dan low level (contoh mobil LCGC) yang termasuk kelompok dilarang menggunakan BBM bersubsidi. 

Tetapi dari sisi penghasilan, kelompok menengah belum cukup naik kelas untuk menggunakan BBM non-subsidi. Mengurangi konsumsi BBM berarti mengurangi akses mereka ke sumber ekonomi dan sosial. 

Alasan tersebut kiranya cukup menjelaskan fenomena banyaknya pemilik mobil yang tetap memaksa antri membeli BBM bersubsidi. 

Dengan kelompok menengah di Indonesia yang mencapai 64% dari total populasi, mereka pastinya ikut dalam bagian penentang kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM. 

Kenaikan BBM kedepannya akan menjadi sebuah keniscayaan oleh sebab berbagai faktor. Selain meredam dampak kenaikan melalui pengendalian tingkat inflasi barang dan jasa, perbaikan angkutan publik harus menjadi instrumen yang bisa diambil. 

Ambiguitas kebijakan 

Harus diakui Indonesia sangat masif membangun infrastruktur transportasi khusus nya berbasis jalan. Dampaknya konektivitas antar wilayah semakin baik. 

Tidak demikian dengan angkutan publik. 

Kinerja angkutan umum di Indonesia kurang menggembirakan, terlihat dari semakin meningkatnya jumlah sepeda motor di indonesia. Melalui studi yang dilakukan kompas di tahun 2022, ada empat kota di indonesia yang lebih dari 70% ruang jalannya dipenuhi sepeda motor. 

Hal ini sejalan dengan dengan tingginya konsumsi BBM untuk kendaraan pribadi dimana menyedot hampir lebih dari 60% total permintaan BBM nasional. 

Ada fakta pemborosan konsumsi BBM di sektor transportasi, namun kebijakan yang diambil terlihat tidak fokus. 

Program "BRT-isasi" medio 2017 dengan mendatangkan layanan bus ala transjakarta tidak berjalan dengan baik. Begitupun program Buy the service (BTS) yang dirancang kan kementrian perhubungan progresnya belum maksimal. 

Selama kurang lebih dikenalkan dalam 3 tahun terakhir, baru 11 kota yang dilayani program tersebut. Ironisnya komisi v DPR RI yang membidangi urusan perhubungan mengkritik keras program tersebut dan meminta untuk mengalihkan anggaran pada penggunaan infrastruktur jalan. 

Infrastruktur baru menimbulkan apa yang disebut dengan induced traffic, penambahan jumlah perjalanan yang tidak perlu dan harusnya bisa dihindari. Saat mobilitas antar daerah semakin lancar, Kota-kota semakin macet yang menghabiskan jutaan liter BBM. 

Kebijakan percepatan kendaraan listrik bagai mata pisau bermata dua. Satu sisi kendaraan berbasis dapat mengurangi penggunaan BBM namun tidak memberikan opsi terhadap kebutuhan warga akan modal angkutan yang layak. 

Kendaraan listrik bukanlah jawaban atas kebutuhan mobilitas masyarakat. Harganya yang diatas rata-rata kendaraan konvensional tidak dapat dijangkau oleh kebanyakan orang. 

Walaupun berganti teknologi, kendaraan listrik sama rupa dengan kendaraan pribadi. Jalanan akan tetap bertambah sesak, membuat pelayanan angkutan umum tidak akan mampu bersaing. 

Itulah mengapa singapura yang terkenal dengan angkutan publiknya kurang mendukung kendaraan jenis ini. Mereka tetap menjalankan kebijakan memprioritaskan angkutan umum dan menolak memberikan insentif khusus terhadap kendaraan listrik. 

Kembali ke jalan yang benar 

Kenaikan BBM kali ini harus menjadi momentum memperjelas arah pengembangan angkutan umum di Indonesia. 

Langkah perbaikan angkutan harus komprehensif dan tidak setengah hati. Sifatnya sudah mendesak karena ketertinggalannya sudah cukup jauh. Tujuannya harus jelas yaitu penurun jumlah pengguna kendaraan pribadi. 

Masyarakat sudah tidak mudah percaya dengan proyek angkutan publik. Adapun politikus tidak cukup yakin penyediaan angkutan umum dapat bermanfaat bagi pemilihannya. 

Pada kesempatan kali ini pengalihan anggaran dari subsidi BBM jangan hanya selesai pada pemberian bantalan sosial untuk pelaku sektor transportasi. Peruntukkannya  bisa lebih berkelanjutan dan produktif misalnya dengan peremajaan angkutan, insentif tarik atau subsidi biaya. 

Daerah harus lebih banyak berinisiatif dan berinovasi. Selama ini program angkutan publik hanya milik pemimpin daerah yang visioner dan pengambil resiko. 

Di tahun mendatang tidak ada yang bisa menjamin harga BBM. Selama masyarakat tidak memiliki pilihan selain kendaraan pribadi, kenaikan BBM akan memberikan dampak berganda, kenaikan komoditi dan mahalnya biaya transportasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun