Dengan kelompok menengah di Indonesia yang mencapai 64% dari total populasi, mereka pastinya ikut dalam bagian penentang kebijakan pemerintah dalam kenaikan BBM.Â
Kenaikan BBM kedepannya akan menjadi sebuah keniscayaan oleh sebab berbagai faktor. Selain meredam dampak kenaikan melalui pengendalian tingkat inflasi barang dan jasa, perbaikan angkutan publik harus menjadi instrumen yang bisa diambil.Â
Ambiguitas kebijakanÂ
Harus diakui Indonesia sangat masif membangun infrastruktur transportasi khusus nya berbasis jalan. Dampaknya konektivitas antar wilayah semakin baik.Â
Tidak demikian dengan angkutan publik.Â
Kinerja angkutan umum di Indonesia kurang menggembirakan, terlihat dari semakin meningkatnya jumlah sepeda motor di indonesia. Melalui studi yang dilakukan kompas di tahun 2022, ada empat kota di indonesia yang lebih dari 70% ruang jalannya dipenuhi sepeda motor.Â
Hal ini sejalan dengan dengan tingginya konsumsi BBM untuk kendaraan pribadi dimana menyedot hampir lebih dari 60% total permintaan BBM nasional.Â
Ada fakta pemborosan konsumsi BBM di sektor transportasi, namun kebijakan yang diambil terlihat tidak fokus.Â
Program "BRT-isasi" medio 2017 dengan mendatangkan layanan bus ala transjakarta tidak berjalan dengan baik. Begitupun program Buy the service (BTS) yang dirancang kan kementrian perhubungan progresnya belum maksimal.Â
Selama kurang lebih dikenalkan dalam 3 tahun terakhir, baru 11 kota yang dilayani program tersebut. Ironisnya komisi v DPR RI yang membidangi urusan perhubungan mengkritik keras program tersebut dan meminta untuk mengalihkan anggaran pada penggunaan infrastruktur jalan.Â
Infrastruktur baru menimbulkan apa yang disebut dengan induced traffic, penambahan jumlah perjalanan yang tidak perlu dan harusnya bisa dihindari. Saat mobilitas antar daerah semakin lancar, Kota-kota semakin macet yang menghabiskan jutaan liter BBM.Â