Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Janji Manis Pejabat Ada Jurang Birokrasi

13 Oktober 2025   21:00 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:38 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye, juru bicara, juru kampanye. (TOTO SIHONO via Kompas.com)

Janji pejabat publik sering terdengar mengikat. Apalagi kalau keluar dari mulut presiden. Bagi banyak orang, ucapan pemimpin dibaca sebagai komitmen negara.

Wajar jika realisasinya ditunggu. Masalahnya, antara janji dan kenyataan sering ada jurang yang memisahkan panggung politik dari birokrasi.

Janji manis bisa berubah jadi jebakan yang pahit.

Kisah Agus Zamroni memperlihatkannya dengan jelas. Ia pengusaha alsintan asal Madiun.

Ceritanya rumit. Pada 2015, ia mendapat kunjungan Presiden Joko Widodo. Saat itu presiden berjanji akan membeli 1.000 unit alsintan merek Zaaga.

Tribunnews memberitakan hal ini pada 2025. Bagi Agus, kabar itu seperti angin segar.

Harapan naik cepat. Ia lalu mengambil risiko besar.

Mengajukan pinjaman ke bank hingga puluhan miliar untuk menambah kapasitas produksi. Pabrik diperluas, karyawan ditambah.

Nyatanya, harapan itu kandas di dinding birokrasi. Dari 1.000 unit yang dijanjikan, pemerintah pusat hanya menyerap 81 unit melalui Kementerian Pertanian. Kompas menulisnya pada 2025.

Ratusan unit lain menumpuk di gudang, jadi saksi bisu janji yang tak terwujud. Kerugian finansial pun muncul, nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.

Pemerintah bukan tanpa penjelasan. Istana dan Kementan menyebut pembelian memang dibatasi oleh beberapa faktor.

ANTARA News pada 2022 melaporkan kendala anggaran. Juga keluhan petani tentang kualitas produk dan layanan purnajual.

Selain itu, ada penegasan lain yang tak kalah penting. Pengadaan harus sesuai kebutuhan riil dan spesifikasi teknis terbaik. Republika menulisnya pada 2022.

Intinya, niat baik presiden tetap tunduk pada aturan evaluasi pengadaan.

Dari sini, ada dua pelajaran besar. Pertama untuk pejabat publik. Setiap kata yang terucap punya konsekuensi moral dan sosial.

Janji tanpa perhitungan matang mudah menumbuhkan ekspektasi keliru yang berujung pada kekecewaan mendalam. Ini bukan sekadar urusan citra. Ini soal etika kepemimpinan dan tanggung jawab.

Kedua untuk pelaku usaha. Kehati-hatian adalah kunci, terutama saat mengambil keputusan investasi strategis yang menyedot modal besar.

Menggantungkan langkah pada janji verbal tidak cukup. Sekalipun datang dari kepala negara.

Diperlukan kepastian hukum, misalnya kontrak kerja sama resmi atau nota kesepahaman yang mengikat. Tanpa pegangan legal yang kuat, posisi pengusaha tetap rentan terhadap perubahan kebijakan dan hambatan birokrasi.

Ini bukan sekadar cerita janji yang diingkari. Ini cermin gagalnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah dan warganya.

Ada visi besar dari pemimpin, tetapi eksekusi teknis tersendat. Ada semangat dan nyali dari pengusaha, tetapi mitigasi risikonya kurang cermat.

Pelajarannya relevan bagi kita semua. Dalam negara hukum, janji dan birokrasi harus berjalan seiring agar harapan tidak berakhir sia-sia.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun