Perombakan kabinet hampir selalu bikin heboh. Banyak orang langsung mengartikannya sebagai urusan politik: bagi-bagi kursi, jatah untuk teman dan partai.
Di tengah riuh itu, soal kinerja sering terpinggirkan. Ada benarnya, tapi penjelasan seperti itu terlalu sederhana.
Coba kita balik kacamata sebentar. Hubungan politik dan kinerja jauh lebih berlapis.
Keduanya tidak selalu saling bertentangan. Bayangkan situasinya. Sebuah pemerintahan butuh dukungan kuat, apalagi di negara dengan banyak partai. Tanpa fondasi politik yang solid, presiden akan sulit bekerja.
Program gampang dijegal, kebijakan bisa tersendat. Beberapa analisis menekankan pentingnya koalisi besar untuk menjaga stabilitas politik (CSIS, 2024).
Dengan stabilitas, kebijakan bisa berjalan. Dalam sistem presidensial multipartai kita, akomodasi politik hampir tak terelakkan. Tujuannya membentuk pemerintahan yang efektif (Palguna, 2020).
Ini cara menghindari kebuntuan. Menempatkan kader partai di kabinet bisa menjadi langkah awal agar mesin pemerintahan bergerak. Bukan berarti kinerja dikesampingkan. Justru itu prasyarat kinerja yang baik.
Ada kemungkinan presiden sedang merapikan barisan. Ia merakit tim berisi orang-orang tepercaya, banyak yang berasal dari partainya sendiri.
Arahnya jelas. Agar program prioritas dieksekusi cepat, tanpa terlalu banyak tarik ulur. Membersihkan kabinet dari jatah partai lain bisa dibaca sebagai strategi untuk memastikan loyalitas penuh para pembantu. Bukan anti-kinerja.
Intinya menciptakan kondisi kerja yang dianggap ideal oleh presiden. Dengan kabinet yang solid, gerak bisa lebih lincah dan, harapannya, lebih efektif.
Soal rangkap jabatan, ini memang kerap jadi sorotan. Sering dijadikan bukti pemerintah tak serius pada kinerja. Tapi apakah semua rangkap jabatan otomatis buruk? Tidak selalu.