Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Satwa, Korban Senyap di Tengah Pusaran Konflik Hukum dan Korupsi

11 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:33 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayi orangutan Kalimantan jantan yang lahir di Bandung Zoo.(KOMPAS.COM/PUTRA PRIMA PERDANA)

Di tengah hiruk pikuk sengketa hukum, satwa adalah pihak paling rentan. Mereka tidak punya suara, tidak bisa membela diri.

Lihat saja kasus Kebun Binatang Bandung. Di sana, satwa menjadi korban senyap dari konflik manusia.

Dampaknya jauh melampaui urusan tiket dan pendapatan. Akar persoalannya ada pada konflik hukum YMT yang berlarut-larut (Tirto, 2025).

Sejak penutupan pada 6 Agustus 2025, suasana kandang berubah hening. Rutinitas satwa ikut porak-poranda.

Humas YMT menyebut banyak hewan tampak lesu. Yang biasanya lincah kini cenderung malas. Ini bukan sekadar hilang mood sesaat.

Kehadiran pengunjung ternyata berfungsi sebagai stimulasi sosial yang penting, terutama untuk primata.

Ketika rutinitas itu lenyap, kebosanan menumpuk. Lalu muncul perilaku stereotip, gerakan berulang tanpa fungsi adaptif yang kerap jadi tanda bahaya pada kesejahteraan satwa (Tirto).

Pengelola YMT berulang kali menenangkan publik. Mereka bilang pakan dan perawatan tetap aman.

Mereka juga menonjolkan 11 kelahiran selama penutupan. Kedengarannya melegakan, tapi klaim seperti ini perlu diuji. Ada fakta yang justru tidak sejalan.

Selama penutupan, biaya pakan dan perawatan ditanggung PKBSI, bukan murni dari dana yayasan seperti yang disebut sebelumnya (Merdeka, 2025).

Kuantitas pakan pun tidak otomatis berarti kualitas nutrisi. Setiap spesies butuh komposisi yang pas, bukan sekadar banyak.

Annisa Rahmawati dari Geopix menegaskan hal serupa. Angka kelahiran yang tinggi di tengah krisis justru sinyal lampu merah. Fasilitas bisa jadi tidak siap karena tingkat stres psikologis meningkat.

Kelahiran baru malah berpotensi menambah risiko kematian. Stres kronis mengganggu imun, mengacaukan siklus hormon dan reproduksi.

Dalam jangka panjang, bisa memicu agresi dalam kelompok dan menurunkan harapan hidup. Karena itu, faktor lain mesti dijaga ketat, mulai dari keamanan ruang hidup, kesehatan, sampai stimulasi mental yang memadai.

Ada pula narasi yang menyamakan perintah penutupan dengan upaya 'membunuh satwa'. Itu dramatisasi yang menyesatkan.

Penutupan dilakukan karena Pemkot Bandung mengambil langkah tegas untuk mengamankan aset lahan di tengah perkara hukum yang berjalan (Detik, 2025).

Bandung Zoo juga berstatus barang bukti dalam kasus korupsi (Merdeka, 2025). Pemkot telah menerbitkan Surat Peringatan 1 dan meminta YMT mengosongkan lahan karena dinilai tidak memiliki alas hak yang sah (Detik, 2025).

Di atas semua itu, negara punya tanggung jawab penuh terhadap satwa liar. KLHK dan BKSDA seharusnya lebih proaktif.

Konflik lahan semestinya menjadi momentum pemerintah untuk turun tangan secara nyata. Prinsipnya sederhana, animal welfare first. Kesejahteraan satwa harus ditempatkan di urutan pertama, di atas kepentingan legal maupun tarik-menarik lahan.

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, sudah menegaskan bahwa Bandung Zoo tidak akan dibuka kembali selama konflik yayasan belum tuntas (Tirto, 2025).

Sikap ini mendorong penyelesaian legal, tetapi di saat yang sama memperlihatkan lambatnya respons konservasi. Padahal jalurnya jelas.

Tunjuk kustodian sementara yang independen. Tugasnya memastikan standar pemeliharaan terpenuhi, termasuk prinsip Five Freedoms, tanpa terpengaruh keributan antarpengelola.

Contoh dari luar negeri cukup banyak. Pengadilan di Amerika Serikat pernah memerintahkan pemindahan satwa ke sanctuary ketika ada bukti pengabaian. Di Inggris, otoritas berwenang mencabut izin operasional bila kesejahteraan satwa terancam (Tirto).

Indonesia bisa mengambil pelajaran. Lakukan audit independen atas kondisi satwa. Bentuk tim pengawas yang bekerja rutin. Pastikan standardnya jelas dan terukur, bukan sekadar imbauan.

Intinya, jangan biarkan konflik manusia dan perkara korupsi menyeret satwa menjadi korban yang tak terlihat. Mereka tidak punya pilihan. Kita yang harus memastikan mereka tetap hidup layak, sehat, dan aman.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun