Di tengah hiruk pikuk sengketa hukum, satwa adalah pihak paling rentan. Mereka tidak punya suara, tidak bisa membela diri.
Lihat saja kasus Kebun Binatang Bandung. Di sana, satwa menjadi korban senyap dari konflik manusia.
Dampaknya jauh melampaui urusan tiket dan pendapatan. Akar persoalannya ada pada konflik hukum YMT yang berlarut-larut (Tirto, 2025).
Sejak penutupan pada 6 Agustus 2025, suasana kandang berubah hening. Rutinitas satwa ikut porak-poranda.
Humas YMT menyebut banyak hewan tampak lesu. Yang biasanya lincah kini cenderung malas. Ini bukan sekadar hilang mood sesaat.
Kehadiran pengunjung ternyata berfungsi sebagai stimulasi sosial yang penting, terutama untuk primata.
Ketika rutinitas itu lenyap, kebosanan menumpuk. Lalu muncul perilaku stereotip, gerakan berulang tanpa fungsi adaptif yang kerap jadi tanda bahaya pada kesejahteraan satwa (Tirto).
Pengelola YMT berulang kali menenangkan publik. Mereka bilang pakan dan perawatan tetap aman.
Mereka juga menonjolkan 11 kelahiran selama penutupan. Kedengarannya melegakan, tapi klaim seperti ini perlu diuji. Ada fakta yang justru tidak sejalan.
Selama penutupan, biaya pakan dan perawatan ditanggung PKBSI, bukan murni dari dana yayasan seperti yang disebut sebelumnya (Merdeka, 2025).
Kuantitas pakan pun tidak otomatis berarti kualitas nutrisi. Setiap spesies butuh komposisi yang pas, bukan sekadar banyak.