Di titik ini, narasi damai yang digagas negara memegang peran sentral. Rezim berusaha mensterilkan amarah publik. Menata proses politik agar patuh pada versi perdamaian yang serba rapi.
Narasi itu tampak seolah berpihak pada rakyat. Padahal sering hanya menghadirkan ilusi.
Efek nyatanya adalah penguatan status quo. Yang menyingkirkan kepentingan warga biasa.
Pola seperti ini mirip dengan depolitisasi institusional. Tujuannya meredam protes secara rapi dan sah.
Matthew Flinders dan Jim Buller (2006) menjelaskan bagaimana lembaga negara dapat membentuk badan-badan khusus untuk melunakkan opini publik. Kritik diputus melalui kebijakan yang tampak lunak.
Kita pernah melihat contohnya di Italia setelah gelombang Gerakan 1968. Aksi-aksi disruptif mendorong kenaikan upah pada 1969, lebih dari 20 persen.
Elite politik lalu merespons dengan Strategia della Tensione, atau Strategi Ketegangan.
Strategia della Tensione adalah taktik yang melibatkan aktor negara atau kelompok neofasis (Treccani, 2018).
Aksi teror disengaja untuk menebar rasa takut, sehingga publik menerima langkah-langkah otoriter. Ketakutan diproduksi, lalu dipakai sebagai pembenaran lahirnya pemerintahan yang lebih keras. Ini bentuk depolitisasi yang brutal.
Ada juga bentuk yang tidak sebrutal itu. Misalnya ajakan makan siang bersama demonstran, dilakukan diam-diam di luar sorotan publik.
Flinders dan Buller (2006) menyebutnya sebagai cara memelintir protes menjadi peristiwa aneh, sebuah kedok untuk kendali pemerintah de facto.