Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) lagi menghadapi krisis berat. Situs Warisan Dunia UNESCO ini perannya krusial. Lebih dari 36.000 hektare areanya sudah terdegradasi parah (Kementerian Kehutanan, 2025).
Pemicunya utama adalah perambahan liar, lalu diperparah oleh alih fungsi lahan. Kerusakan paling parah terjadi di Blok Tenggulun, Aceh Tamiang.
Hampir seribu hektare hutan dirusak di sana, dan lebih dari 300 hektare diubah menjadi kebun sawit ilegal (Tirto, 2025).
TNGL menjadi rumah tiga spesies kunci: harimau Sumatra, gajah Sumatra, dan orang utan Sumatra yang endemik. Ketiganya berstatus kritis terancam punah (Panut Hadisiswoyo, 2025).
Saat habitat menyusut, ancamannya makin besar. Pohon berumur ratusan tahun ditebang begitu saja. Memulihkan ekosistem bukan perkara cepat atau mudah. Kerusakan ini bukan sekadar deret angka.
Akar masalah TNGL ada pada tata kelola yang gagal. Pergeseran batas administrasi disebut sebagai pemicu awal (Tirto, 2025).
Celah ini kemudian dimanfaatkan pihak tertentu dengan dalih batas wilayah. Mereka menyebarkan anggapan keliru seolah TNGL tidak termasuk di area tersebut. Padahal, konservasi tidak berhenti di garis administrasi.
Pelaku perambahan kerap disebut mafia. Mereka memobilisasi masyarakat lokal, bahkan mendorong kelompok tani setempat untuk membuka hutan. Jumlah orang yang terlibat disebut hampir seribu.
Penelusuran media menduga ada konglomerat yang ikut bermain. Inisial RA alias A dari Medan muncul, terkait bisnis properti dan hiburan, dan diduga punya hubungan dengan Konsorsium 303 (Tirto, 2025).
Polanya menunjukkan kejahatan yang terorganisir. Jaringannya melibatkan oknum aparat, dengan dugaan suap kepada perwira polisi setempat.
Pemerintah membentuk Satgas PKH sebagai respons, melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025. Satgas ini memakai asas ultimum remedium, artinya jalur pidana dipakai terakhir.