Banjir besar yang menerjang Bali pada September 2025 bukan kejadian tunggal yang datang lalu pergi. Ia memantik perdebatan panjang di ruang publik.
Orang bertanya, siapa yang harus disalahkan. Ada yang menunjuk alam. Ada yang menuding ulah manusia.
Kenyataannya, jarang sesederhana itu. Bencana ini lahir dari pertemuan dua faktor sekaligus. Kombinasi yang nyata dan mematikan.
Malam 9 September 2025, hujan ekstrem mengguyur Bali. BNPB mencatat curah hujan kategori sangat ekstrem (Indoraya News, 2025). Mencapai 150 sampai 350 milimeter dalam sehari.
Sungai besar Tukad Badung meluap cepat. Air berlumpur menerjang pusat perdagangan Denpasar.
Toko-toko di Jalan Sulawesi terendam. Pintu besi melengkung. Arus tak terbendung. Underpass Dewa Ruci ikut terendam. Dan akses vital ke Kuta sempat putus.
Jumlah korban jiwa bertambah dari waktu ke waktu. BNPB melaporkan 18 orang meninggal dunia (Wikipedia, 2025).
Sekitar 474 ruko rusak berat. Untuk intensitas, banjir ini yang terparah dalam satu dekade terakhir.
Faktor alam jelas berperan besar. BMKG menyebut adanya Gelombang Ekuatorial Rossby, fenomena atmosfer di sekitar khatulistiwa yang memicu pertumbuhan awan konvektif masif (CNN Indonesia, 2025).
Awan-awan itu menumpahkan hujan lebat di Bali. Masalahnya, hujan ekstrem ini jatuh di atas kondisi yang sudah rentan.
Kerentanan itu banyak terkait aktivitas manusia. Ahli tata ruang menyoroti alih fungsi lahan.