Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontroversi Segel Salem: Indonesia dan AS Perdebatkan Warisan Lada Aceh

8 Oktober 2025   11:00 Diperbarui: 27 September 2025   21:51 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segel kota itu cuma lambang. Tapi maknanya panjang. Ia merangkum sejarah dan nilai yang kita anggap bersama.

Di Salem, Massachusetts, Amerika Serikat, lambang ini sedang jadi bahan perdebatan serius. Pusat isunya adalah sosok pria Aceh yang sudah tercetak sejak 1839 (Destination Salem, 2016).

Figur itu kini memicu kekhawatiran soal rasisme dan bagaimana Asia-Amerika direpresentasikan.

Protes warga memantik kontroversi. Banyak yang khawatir gambar tersebut mengabadikan stereotip rasial.

Identitas orang Aceh ikut tersentuh. Dan komunitas Asia yang lebih luas pun merasa terganggu. Race Equity Commission Salem lalu menyarankan perubahan pada Agustus 2024 (StreetsofSalem, 2024).

Menyusul itu, Wali Kota membentuk City Seal Task Force. Tugas CSTF adalah meninjau sejarah segel dan merumuskan modifikasi yang tepat. Catatan menunjukkan ada pertemuan publik pada 17 Maret 2025 (City of Salem, 2025).

Proses evaluasi dipatok 18 bulan, dan hasil akhirnya diharapkan selaras dengan nilai kota saat ini.

Kenapa ada figur orang Aceh di sana? 

Jawabannya ada pada perdagangan lada. Dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-19, Salem menjalin hubungan dagang intens dengan Kesultanan Aceh.

Salem bahkan dikenal sebagai satu-satunya kota di Amerika Serikat yang jadi pelabuhan tambatan untuk lada Aceh. Orang di balik desain segel ini adalah George Peabody, seorang alderman sekaligus pemilik kapal rempah (StreetsofSalem, 2024).

Ia memilih sosok yang diyakini adalah Po Adam, bangsawan dan pedagang lada terkaya, kolega dekat ayahnya, Joseph Peabody.

Segel itu juga memuat moto Latin, "Divitis Indiae usque ad ultimum sinum," yang kurang lebih berarti kekayaan India sampai ke pelabuhan terjauh, yakni di Timur yang makmur (Destination Salem, 2016).

Data sejarah menegaskan betapa strategisnya hubungan ini. Sebanyak 179 kapal Amerika tercatat berlabuh di Aceh antara 1654 hingga 1846.

Sejarawan Anthony Reid menulis tentang peran penting Aceh selatan sebagai pemasok lada untuk New England. Intinya, Aceh adalah pemasok utama Amerika.

Pada segel, pria Aceh digambarkan mengenakan busana ulee balang dan memegang payung kehormatan. Dulu, gambar itu dimaksudkan sebagai pengakuan atas kekayaan dan kemitraan dagang dengan yang disebut Hindia Timur (PotretOnline, 2025).

Masalahnya muncul saat gambar dari 1839 itu dibaca ulang di zaman sekarang. Anggota Dewan Kota Salem, Andy Varela, mengakui bahwa citra visual tersebut tidak lepas dari bias sejarah (Patch, 2025).

Banyak penulis Barat dulu cenderung menyamaratakan orang Asia Tenggara dan menempatkan mereka sebagai pihak yang dianggap "kurang" dibandingkan Eropa-Amerika.

Mungkin niat Peabody adalah menghormati mitra dagang Aceh, tetapi dari kacamata modern representasi itu bisa terasa eksploitatif dan merendahkan (Patch, 2025).

Para pemrotes tidak ingin menghapus sejarah. Mereka ingin memperbaiki visual yang dinilai sudah usang.

Dari Indonesia, responsnya beragam. Reza Idria, antropolog Aceh, mendukung agar simbol itu dipertahankan. Menurutnya, itu adalah ikatan yang signifikan dan bagian dari warisan diplomasi budaya.

Sikap ini didukung Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem. Ia mengirim surat kepada Gubernur Massachusetts, Maura Healey, pada 18 Juli 2025 (Arrahmah.id, 2025).

Isi pesannya jelas, jangan hapus logo tersebut. Ia berpendapat penghapusan tidak perlu, karena takutnya hanya akan dianggap tidak sensitif. Mualem malah mengusulkan penguatan makna melalui program pendidikan bersama dan pertukaran budaya (Dialeksis.com, 2025).

Di sisi lain, warga Salem yang sudah lama tinggal di sana juga punya kenangan sendiri. Anggota dewan Cindy Jerzylo menyebut segel itu sebagai penghormatan kepada Sumatra yang ikut membuat Salem dikenal dunia. Ia menyayangkan ketika lambang itu langsung dilabeli rasis.

Perdebatan di Salem mencerminkan ketegangan yang dialami banyak tempat. Ada keinginan untuk menghormati masa lalu, sekaligus kebutuhan menyesuaikan representasi dengan nilai kesetaraan hari ini.

Tugas CSTF dan Pemerintah Kota Salem adalah mencari jalan tengah. Mengubah segel bukan berarti menghapus sejarah. Justru bisa menjadi upaya merajut ulang narasi.

Salem punya peluang besar untuk merancang simbol yang menegaskan kemitraan yang setara, sambil tetap mengakui bentang sejarah global yang sudah mereka miliki.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun