Sistem politik Indonesia lagi tidak baik-baik saja. Demokrasi perwakilan terdesak oleh kekuatan oligarki. Sementara korupsi dan dinasti politik kian menebal.
Wajar kalau muncul pertanyaan ekstrem. Apa republik ini perlu diganti total? Ada pula yang mengusulkan konfederasi otonom. Lalu mendorong demokrasi langsung sebagai obatnya.
Janjinya sederhana, kedaulatan dikembalikan ke tingkat lokal. Kedengarannya menarik, tapi perlu dibedah pelan-pelan.
Akar masalahnya bukan di label sistemnya. Yang bolong ada pada penegakan hukum. Para perusak aturan sering lolos tanpa sanksi.
Mengganti bentuk negara terasa gagah, namun sering hanya jadi ilusi solusi. Oligarki dan korupsi itu penyakit struktural.
Nama sistem diganti. Penyakitnya tetap menempel. Jika kewenangan pusat dipangkas terlalu jauh. Risikonya tidak kecil.
Oligarki pusat bisa saja berganti baju jadi oligarki lokal. Elite daerah yang korup berpeluang berjaya. Pengawasan dari pusat melemah. Dan kekacauan makin sulit dikendalikan.
Pergantian sistem biasanya terjadi lewat revolusi. Sejarah mengingatkan, jalur ini mahal harganya.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) menunjukkan, revolusi jarang melahirkan perubahan yang inklusif. Yang sering terjadi hanya pergantian elite.
Rezim baru pun kerap kembali represif. Tidak jauh berbeda dari rezim lama. Akar kegagalan ada pada institusi yang ekstraktif. Dirancang untuk menguntungkan segelintir orang.
Bukan karena geografis atau budaya. Maka langkah strategis justru reformasi konstitusi disertai penegakan hukum yang tegas dan konsisten.