Alam liar bukan pilihan aman bagi hewan dari penangkaran, juga bagi satwa yang baru diselamatkan. Lingkungan yang terkontrol sering memberi peluang hidup yang lebih besar.
Tetap saja, masalah kesejahteraan itu nyata. Di penangkaran, isu ini sering muncul. Perilaku abnormal yang tadi terlihat punya nama: zoochosis.
Istilah ini diperkenalkan Bill Travers pada awal 90-an. Born Free Foundation menjelaskannya sebagai manifestasi penderitaan mental. Riset modern memperkuat temuannya.
Perilaku tersebut berkaitan dengan tingkat stres, bahkan sejalan dengan kadar hormon stres (National Library of Medicine, 2015). Bukti fisiologisnya menunjuk ke satu hal. Ada yang keliru di lingkungan mereka.
Sejarah juga menyimpan insiden-insiden penting yang menunjukkan betapa rumitnya persoalan ini. Kisah gorila Harambe, misalnya. Ia hidup di Kebun Binatang Cincinnati.
Seorang anak kecil terjatuh ke kandangnya pada tahun 2016. Suasana berubah kacau. Harambe ditembak mati untuk menyelamatkan si anak (BBC News, 2016).
Tragedi itu menampakkan betapa rapuhnya batas antara dunia manusia dan satwa. Ada pula cerita orang utan Ken Allen, si "The Hairy Houdini".
Media seperti Los Angeles Times mendokumentasikannya. Ia berkali-kali kabur. Bukan karena panik. Ia melakukannya karena sangat cerdas, juga karena bosan.
Dua cerita ini menyingkap spektrum masalah yang berbeda. Di satu sisi ada kegagalan desain keamanan. Di sisi lain ada kurangnya stimulasi mental.
Masalah utamanya bukan pada ide penangkaran itu sendiri, melainkan pada mutu pelaksanaannya. Kebun binatang yang sempit benar-benar terasa seperti penjara. Tempat yang miskin stimulasi mental juga begitu.
Solusinya bukan membubarkan semua lembaga itu. Kita perlu menuntut standar setinggi-tingginya, berbasis sains kesejahteraan hewan.