Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Zoochosis: Sisi Gelap Kesejahteraan Hewan di Penangkaran

29 September 2025   05:00 Diperbarui: 26 September 2025   10:55 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramainya pengunjung di Kandang Gajah, Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (24/4/2023).(KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL)

Orang datang ke kebun binatang dan melihat hal yang sama berulang. Harimau mondar-mandir di garis yang itu-itu saja. Geraknya seperti kaset diputar ulang.

Di sudut lain, beruang mengangguk-angguk tanpa henti. Pola yang repetitif ini memang terasa janggal.

Dari situ banyak orang menarik kesimpulan yang mirip. Pasti hewan itu sedang stres berat. Pasti mereka menderita. Lalu kandang pun dilabeli sebagai penjara. Jeruji dibaca sebagai simbol perampasan kebebasan.

Pandangan seperti ini sangat umum, gampang dicerna. Tapi apakah sesederhana itu? Mungkin ada sisi lain yang sering luput.

Gagasan bahwa kebun binatang identik dengan penjara perlu ditinjau ulang, dengan kepala dingin. Zaman berubah. Peran kebun binatang modern ikut bergeser, dan pergeserannya besar.

Lembaga yang terakreditasi kini bukan sekadar tempat memajang satwa. Mereka menjadi pusat konservasi, menjalankan strategi kesejahteraan satwa yang dirumuskan badan seperti World Association of Zoos and Aquariums.

Misi utamanya menyelamatkan spesies dan menahan laju ke jurang kepunahan. Programnya tidak asal jalan, melainkan dirancang dengan cermat. Tanpa tempat-tempat ini, sebagian satwa bisa hilang begitu saja.

Beberapa yang ikonik mungkin lenyap. Jadi, untuk banyak kasus, kandang bukan penjara. Kandang bisa menjadi benteng terakhir.

Ada juga narasi yang mengagungkan alam liar sebagai surga kebebasan. Kedengarannya puitis, tetapi realitasnya jauh lebih keras.

Hidup di alam liar itu berat, kadang brutal. Satwa harus terus berjuang untuk bertahan. Ancaman datang bertubi-tubi. Kelaparan, penyakit, dan predator adalah menu harian (National Library of Medicine, 2015).

Banyak yang bahkan tidak sempat mencapai usia dewasa. Bandingkan dengan pusat konservasi yang dikelola baik. Makanan tersedia dengan konsisten. Perawatan medis ada ketika dibutuhkan. Ancaman predator tidak hadir.

Alam liar bukan pilihan aman bagi hewan dari penangkaran, juga bagi satwa yang baru diselamatkan. Lingkungan yang terkontrol sering memberi peluang hidup yang lebih besar.

Tetap saja, masalah kesejahteraan itu nyata. Di penangkaran, isu ini sering muncul. Perilaku abnormal yang tadi terlihat punya nama: zoochosis.

Istilah ini diperkenalkan Bill Travers pada awal 90-an. Born Free Foundation menjelaskannya sebagai manifestasi penderitaan mental. Riset modern memperkuat temuannya.

Perilaku tersebut berkaitan dengan tingkat stres, bahkan sejalan dengan kadar hormon stres (National Library of Medicine, 2015). Bukti fisiologisnya menunjuk ke satu hal. Ada yang keliru di lingkungan mereka.

Sejarah juga menyimpan insiden-insiden penting yang menunjukkan betapa rumitnya persoalan ini. Kisah gorila Harambe, misalnya. Ia hidup di Kebun Binatang Cincinnati.

Seorang anak kecil terjatuh ke kandangnya pada tahun 2016. Suasana berubah kacau. Harambe ditembak mati untuk menyelamatkan si anak (BBC News, 2016).

Tragedi itu menampakkan betapa rapuhnya batas antara dunia manusia dan satwa. Ada pula cerita orang utan Ken Allen, si "The Hairy Houdini".

Media seperti Los Angeles Times mendokumentasikannya. Ia berkali-kali kabur. Bukan karena panik. Ia melakukannya karena sangat cerdas, juga karena bosan.

Dua cerita ini menyingkap spektrum masalah yang berbeda. Di satu sisi ada kegagalan desain keamanan. Di sisi lain ada kurangnya stimulasi mental.

Masalah utamanya bukan pada ide penangkaran itu sendiri, melainkan pada mutu pelaksanaannya. Kebun binatang yang sempit benar-benar terasa seperti penjara. Tempat yang miskin stimulasi mental juga begitu.

Solusinya bukan membubarkan semua lembaga itu. Kita perlu menuntut standar setinggi-tingginya, berbasis sains kesejahteraan hewan.

Dorong perubahan yang nyata. Pastikan kandang memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan psikologis hewan yang tinggal di dalamnya.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun