Banyak orang sering mengaitkan dua hal besar: perjuangan demokrasi di Korea Selatan dan ledakan budaya K-Pop. Ceritanya rapi, mudah dipercaya.
Ada bangsa yang bangkit melawan rezim otoriter, menang, lalu menikmati hak-hak sipil. Dari momen itu lahirlah Republik Keenam Korea (Encyclopædia Britannica, 2025).
Kreativitas pun seolah meluber ke mana-mana. Dari kebebasan itu, gelombang Hallyu muncul dan mendunia.
Narasi ini tidak keliru. Juni 1987 memang titik balik. Tembok sensor akhirnya runtuh, tembok yang mengekang seniman bertahun-tahun.
Sebelumnya, kontrol negara begitu ketat. Media dan ekspresi budaya diawasi ketat, ratusan publikasi dibredel, banyak lagu populer ikut dilarang. Kadang semata karena selera penguasa (The Korea Times, 2021).
Setelah demokrasi, ruang berekspresi melebar. Itu momen penting. Tanpa kebebasan, sulit membayangkan lahirnya grup yang benar-benar inovatif.
Ambil contoh Seo Taiji and Boys. Debut tahun 1992, mereka meracik rap dan hip-hop dengan melodi pop Korea. Tak heran banyak yang menyebut mereka perintis K-Pop modern (Google Arts & Culture).
Lalu datang krisis finansial Asia pada 1997. Ekonomi Korea Selatan terpukul, terutama karena bergantung pada industri berat.Â
Pemerintah perlu mesin pertumbuhan baru. Industri budaya terlihat menjanjikan.Â
Negara yang dulunya mengekang, kini justru menyokong. Investasi publik mengalir, promosi musik dan film didorong.Â
Keduanya diperlakukan sebagai komoditas ekspor bernilai tinggi. Krisis itu ikut menempa K-Pop (Prospect Magazine, 2023). Dari sini tampak tiga pilar yang sering disebut: demokrasi, inovasi, dan dorongan kebutuhan ekonomi.