Ancaman dari dalam ini jauh lebih rumit. Pelaku yang dikenal tidak perlu berpura-pura sebagai utusan orang tua.
Mereka bisa mengajak anak pergi dengan bujukan atau alasan yang terdengar wajar. Alasan seperti ini lebih mudah dipercaya, sehingga kode rahasia menjadi kurang relevan.
Pertimbangkan juga kondisi psikologis anak saat terancam. Bayangkan anak kecil yang ketakutan berhadapan dengan orang dewasa yang memaksa.
Panik bisa mengambil alih. Pikiran jernih menurun.
Dalam keadaan seperti itu, anak mungkin lupa kodenya, atau terlalu takut untuk berbicara. Menggantungkan diri pada satu kode saja jelas berisiko.
Jadi, apa yang sebaiknya jadi fokus? Kode keamanan bukan ide buruk, hanya jangan dijadikan satu-satunya pertahanan.
Perlindungan anak perlu dibangun berlapis. Lapisan yang paling dasar adalah komunikasi. Komunikasi yang terbuka, jujur, dan hangat.
Orang tua membangun hubungan yang kuat sehingga anak merasa aman bercerita apa pun tanpa takut dihakimi atau dimarahi.
Ajari anak untuk percaya pada perasaannya. Jika situasi terasa tidak nyaman, anggap itu sinyal bahaya.
Mereka berhak menolak dan berhak menjauh. Ajarkan batasan tubuh serta konsep persetujuan atau consent.
Praktik ini direkomendasikan lembaga internasional seperti UNICEF Indonesia pada 2021 dan juga National Center for Missing & Exploited Children. Ini pelajaran hidup yang mendasar, berguna di banyak situasi, bukan hanya saat bertemu orang asing.