Ada juga versi halus yang kadang tidak disadari. Berupa bias gender tersembunyi.
Misalnya, kontribusi perempuan dinilai lebih rendah daripada laki-laki. Padahal kualitas pekerjaannya setara.
Ini manifestasi stereotip yang sudah lama mengakar di struktur sosial kita (Jurnal Sawwa Walisongo, 2015).
Ketika pasangannya mengalaminya langsung, laki-laki itu dipaksa melihat dampaknya, jelas di depan mata.
Apakah pencerahan ini selalu mulus? Tentu tidak. Gagasannya bertumpu pada asumsi bahwa semua laki-laki akan berempati.
Nyatanya, tidak sedikit yang justru defensif. Mereka bisa menuduh pasangan terlalu sensitif.
Sikap defensif ini mekanisme pertahanan psikologis yang umum. Biasa muncul saat keyakinan lama diguncang (Hello Sehat, 2020).
Mengakui adanya seksisme itu berat. Artinya sistem yang selama ini berjalan tidak adil. Mungkin bahkan menguntungkan dirinya. Kesadaran semacam itu tidak nyaman.
Lalu ada jurang antara sadar dan bertindak. Seorang laki-laki bisa saja paham sepenuhnya. Bahkan marah ketika pasangannya direndahkan.
Tapi apakah ia berani menegur temannya saat lelucon seksis terlontar? Menjadi sekutu yang sungguh-sungguh, butuh lebih dari rasa iba personal.
Perlu keberanian menantang norma, menahan ego, dan mengambil langkah nyata di lingkungannya sendiri (Binus University, 2025).