Sejarah mencatat banyak pemberontakan berangkat dari isu pajak. Dari era Romawi kuno, pemberontakan petani di Inggris, sampai revolusi besar di Amerika dan Prancis.
Namun menyamakan semuanya adalah penyederhanaan berlebihan. Setiap gerakan lahir dari konteksnya sendiri. Pemicu dan tujuannya tidak selalu sama.
Di Inggris, tekanan terhadap raja melahirkan Magna Carta tahun 1215, digerakkan oleh kaum bangsawan yang menuntut pembatasan pungutan sewenang-wenang (Wikipedia).
Kasus ini berbeda dengan Revolusi Prancis yang meledak karena sistem pajak timpang. Kaum bangsawan dan gereja nyaris bebas beban, sementara rakyat jelata menggendong seluruhnya.
Motif dan skalanya berbeda, maka dampaknya pun tidak bisa dipukul rata.
Cara pandang yang lebih adil atas pajak melihatnya sebagai kontrak sosial (DDTC News, 2020). Kesepakatan tak tertulis yang menopang negara modern.
Warga menyerahkan sebagian pendapatannya dalam bentuk pajak. Negara, sebagai imbalan, wajib memberi perlindungan, keamanan, keadilan, dan layanan publik yang layak untuk semua warga (UNAIR NEWS, 2022).
Korupsi yang merajalela adalah bentuk pengkhianatan. Demikian pula pemborosan uang negara atau kebijakan yang terang-terangan tidak adil.
Semuanya merusak kepercayaan. Saat itu terjadi, wajar jika warga merasa dikhianati karena pajak yang mereka bayarkan tidak kembali sebagai manfaat, melainkan mengalir memperkaya segelintir elite.
Jadi pertanyaannya bukan semata membayar atau tidak. Yang lebih pas adalah, apa yang kami dapat dari pajak?
Kita memang mudah meromantisasi pemberontakan. Melawan ketidakadilan adalah hak, bahkan sering tak terhindarkan secara historis.