Gerakan menolak pajak sering diperlakukan seperti kisah kepahlawanan. Versi populernya sederhana saja: rakyat kecil berdiri menghadang penguasa zalim atas nama keadilan.
Terdengar gagah, membakar semangat, dan mudah dijual. Tapi apakah perlawanan pajak sesederhana itu? Apakah motifnya selalu murni dan kolektif?
Kalau kita menengok lebih dalam, jawabannya cenderung tidak. Realitas di lapangan jauh lebih berlapis.
Ini bukan cerita hitam putih. Ada pihak yang menindas, ada juga yang benar-benar tertindas.
Masalahnya, cara pandang yang beredar sering keliru. Semua gerakan antipajak diberi label mulia, padahal bisa saja di belakangnya ada agenda lain.
Tidak sedikit penolakan pajak yang digerakkan elit atau korporasi besar. Tujuannya jelas, menghindari tanggung jawab sosial.
Padahal pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Dari sinilah layanan publik yang esensial dibiayai.
Secara fungsi, pajak memegang empat peran penting: anggaran, pengaturan, stabilitas, dan redistribusi pendapatan.
Begitu orang kaya menghindari pajak, rangkaian fungsi ini pincang. Terutama fungsi redistribusi yang bisa jebol total.
Dampaknya terasa pada layanan vital yang macet. Sekolah negeri, rumah sakit umum, juga infrastruktur dasar ikut terpukul.
Yang paling rugi tentu kelompok miskin yang sangat bergantung pada fasilitas publik tersebut (Gramedia, 2022).