Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Kembali Karya Ibu Sud dengan Kacamata Modern

24 September 2025   09:00 Diperbarui: 20 September 2025   17:20 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saridjah Bintang Soedibjo atau akrab disapa Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak Indonesia.(Historia.id via Kompas.com)

Nama Ibu Sud sudah masuk ranah legenda. Ia dikenal sebagai legenda musik anak Indonesia (Perpustakaan Nasional RI, 2022).

Lagu-lagunya identik dengan kegembiraan yang jernih, terasa polos, dan menggambarkan dunia anak-anak dengan indah. Nada dasarnya sangat positif.

Hampir semua dari kita akrab dengan melodinya. Ambil contoh "Lihat Kebunku", cerita sederhana tentang bunga.

Ada juga "Burung Kutilang", si burung yang bersiul di pucuk cemara. "Naik Delman" pun populer, disusul "Menanam Jagung" dan "Tik Tik Hujan".

Lagu-lagu itu menunjukkan keahliannya menangkap realitas sehari-hari yang sederhana lalu mengubahnya menjadi nyanyian yang ceria (Kompas.com, 2022).

Masalahnya, zaman sudah bergerak jauh. Pertanyaan pun muncul. Apakah lagu-lagunya masih terasa dekat?

Anak-anak sekarang tumbuh di ekosistem yang berbeda. Mereka adalah generasi digital.

Gawai dan internet menemani waktu main. Sementara imajinasi dibentuk oleh arus konten dari seluruh dunia yang serba cepat dan dinamis.

Apakah lagu tentang becak masih nyambung? Banyak anak berangkat dengan mobil atau ojek.

Becak mungkin terdengar seperti benda museum. Wacana soal krisis lagu anak juga sering muncul.

Banyak anak justru lebih hafal lagu orang dewasa. Padahal isinya tidak sesuai usia. Lagu tradisional kerap dicap kuno (CNN Indonesia, 2017).

Kesederhanaan adalah kekuatan utama karya Ibu Sud. Liriknya lugas, mudah diingat. Melodinya pun simpel. Sehingga mudah diterima anak, terutama pada masanya.

Namun kesederhanaan bisa jadi pedang bermata dua, apalagi di konteks hari ini. Dunia nyata tidak selalu sederhana, dan tentu tidak melulu ceria.

Ada spektrum emosi lain. Sedih, marah, takut, juga kecewa. Anak perlu mengenal semua itu.

Apakah lagu yang ceria saja cukup? Kalau fokusnya hanya keindahan, bisa jadi anak tidak cukup dibekali.

Mereka butuh sarana belajar yang juga membantu mengolah perasaan sulit. Agar lebih siap menghadapi dunia yang kian kompleks.

Ibu Sud berkarya pada masa kolonial, saat budaya Belanda mendominasi (Tirto.ID, 2024). Pendidikan dan hiburan anak ikut terpengaruh.

Di situ ia mengambil pilihan yang jelas. Menulis tentang alam Indonesia dan budaya sendiri.

Keputusan ini bukan sekadar estetika. Ini cara membangun identitas dan menanamkan kebanggaan nasional.

Mungkin bukan perlawanan politik yang frontal. Tetapi ia merawat nasionalisme budaya.

Dampaknya terasa efektif. Pemerintah kolonial mungkin membiarkannya karena dianggap tidak politis, tidak berbahaya.

Padahal lirik-lirik sederhana itu menyimpan makna. Ada benih cinta tanah air yang ditaburkan halus kepada generasi penerus.

Lalu, siapa sebenarnya yang merasa lagu-lagunya abadi? Anak-anak hari ini, orang tua mereka, atau justru kakek-nenek?

Bisa jadi daya tariknya kini ditopang nostalgia. Orang dewasa merindukan masa kecil yang terasa polos, aman, dan sederhana. Lagu-lagu itu menjadi semacam portal waktu, pengingat pada masa lalu yang hangat.

Warisan Ibu Sud tidak perlu diragukan. Ia pahlawan musik anak Indonesia (Perpustakaan Nasional RI, 2022).

Karyanya berfungsi sebagai dokumen sejarah sekaligus dokumen kebudayaan. Melihatnya secara kritis bukan berarti mengecilkan jasanya.

Justru sebagai bentuk penghormatan yang lebih utuh. Kita memahami konteks zamannya, lalu menimbang relevansinya hari ini.

Dengan membawa karya-karyanya ke diskusi baru, kita membuatnya tetap hidup. Bukan sekadar kenangan, melainkan fondasi penting untuk lahirnya karya-karya baru bagi anak-anak Indonesia.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun