Kesederhanaan adalah kekuatan utama karya Ibu Sud. Liriknya lugas, mudah diingat. Melodinya pun simpel. Sehingga mudah diterima anak, terutama pada masanya.
Namun kesederhanaan bisa jadi pedang bermata dua, apalagi di konteks hari ini. Dunia nyata tidak selalu sederhana, dan tentu tidak melulu ceria.
Ada spektrum emosi lain. Sedih, marah, takut, juga kecewa. Anak perlu mengenal semua itu.
Apakah lagu yang ceria saja cukup? Kalau fokusnya hanya keindahan, bisa jadi anak tidak cukup dibekali.
Mereka butuh sarana belajar yang juga membantu mengolah perasaan sulit. Agar lebih siap menghadapi dunia yang kian kompleks.
Ibu Sud berkarya pada masa kolonial, saat budaya Belanda mendominasi (Tirto.ID, 2024). Pendidikan dan hiburan anak ikut terpengaruh.
Di situ ia mengambil pilihan yang jelas. Menulis tentang alam Indonesia dan budaya sendiri.
Keputusan ini bukan sekadar estetika. Ini cara membangun identitas dan menanamkan kebanggaan nasional.
Mungkin bukan perlawanan politik yang frontal. Tetapi ia merawat nasionalisme budaya.
Dampaknya terasa efektif. Pemerintah kolonial mungkin membiarkannya karena dianggap tidak politis, tidak berbahaya.
Padahal lirik-lirik sederhana itu menyimpan makna. Ada benih cinta tanah air yang ditaburkan halus kepada generasi penerus.