Bayangkan satu taman di pusat kota, dikunjungi ribuan orang setiap pekan. Semua pijakan jatuh di area rumput yang sama. Rumput jenis apa pun akan kewalahan.
Lambat laun tanah di bawahnya memadat. Ribuan langkah membuatnya keras.
Ini yang disebut pemadatan tanah. Dampaknya tidak main-main: struktur tanah rusak, kantung udara penting terperas keluar, dan air sulit meresap (Michigan State University Extension, 2017).
Akar rumput kesulitan bernapas, lalu tumbuh pun susah. Ujungnya rumput mati.
Memulihkannya butuh biaya besar, tenaga banyak, dan waktu. Di titik itu, larangan terasa seperti jalan pintas paling mudah agar taman tetap hijau ketika anggaran perawatan terbatas.
Perlu diingat, taman bukan hanya soal rekreasi. Ia bagian dari ekosistem kota.
Hamparan rumput bekerja seperti spons besar yang menyerap air hujan. Efeknya nyata: membantu menekan risiko banjir (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang).
Begitu tanah terlanjur padat karena sering diinjak, kemampuan serap menurun drastis. Jadi melindungi rumput tidak semata urusan estetika. Ini upaya menjaga fungsi ekologis yang penting bagi kesehatan kota.
Lalu siapa yang salah? Warga? Pengelola? Mungkin bukan keduanya. Akar masalahnya sering ada di desain.
Taman yang baik seharusnya cerdas membaca perilaku pengunjung. Konsep zonasi fungsional bisa dipakai, sebuah pendekatan dalam desain lanskap (Jurnal Arsitektur Lanskap, 2016).
Buat zona rumput untuk aktivitas berat, tanami dengan varietas yang paling tangguh. Pisahkan zona yang ditujukan untuk keindahan atau sebagai area utama resapan air. Zona terakhir ini memang perlu dilindungi sepenuhnya.