Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Biaya Perawatan dan Ekosistem di Balik Larangan Injak Rumput

24 September 2025   01:00 Diperbarui: 20 September 2025   14:11 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumput liar. (SHUTTERSTOCK / damiangretka via Kompas.com)

Papan "Dilarang Menginjak Rumput" sering muncul di mana-mana. Di banyak taman kota, malah.

Setiap kali terlihat, debatnya ikut tumbuh. Ada yang merasa terganggu, bahkan terkekang.

Taman, kata mereka, adalah ruang publik yang seharusnya bebas. Warga mestinya bisa bersentuhan langsung dengan alam.

Bukan sekadar memandang dari jauh. Larangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang memisahkan manusia dari hijaunya bumi.

Kalau dipikir, fungsi taman jelas sekali. Ia dibuat supaya dipakai.

Dinikmati. Hidup. Anak-anak berlarian. Keluarga gelar tikar untuk piknik. Pekerja duduk di rumput saat jam istirahat.

Semua itu butuh akses ke hamparan hijau. Begitu akses ditutup, taman kehilangan esensinya.

Ia berubah jadi diorama di museum. Indah, ya, tapi jangan disentuh. Wajar kalau banyak orang keberatan. Ruang publik, pada akhirnya, ada untuk warganya.

Tapi ada sisi lain yang sering luput. Bukan semata perkara kepercayaan pada pengunjung.

Seringkali soal yang lebih membumi: biaya operasional dan daya tahan taman. Merawat taman kota itu tidak murah, apalagi di kota besar yang padat.

Anggarannya kerap disorot karena bisa besar sekali. Jakarta pernah jadi contoh perdebatan soal ini (Republika, 2020).

Bayangkan satu taman di pusat kota, dikunjungi ribuan orang setiap pekan. Semua pijakan jatuh di area rumput yang sama. Rumput jenis apa pun akan kewalahan.

Lambat laun tanah di bawahnya memadat. Ribuan langkah membuatnya keras.

Ini yang disebut pemadatan tanah. Dampaknya tidak main-main: struktur tanah rusak, kantung udara penting terperas keluar, dan air sulit meresap (Michigan State University Extension, 2017).

Akar rumput kesulitan bernapas, lalu tumbuh pun susah. Ujungnya rumput mati.

Memulihkannya butuh biaya besar, tenaga banyak, dan waktu. Di titik itu, larangan terasa seperti jalan pintas paling mudah agar taman tetap hijau ketika anggaran perawatan terbatas.

Perlu diingat, taman bukan hanya soal rekreasi. Ia bagian dari ekosistem kota.

Hamparan rumput bekerja seperti spons besar yang menyerap air hujan. Efeknya nyata: membantu menekan risiko banjir (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang).

Begitu tanah terlanjur padat karena sering diinjak, kemampuan serap menurun drastis. Jadi melindungi rumput tidak semata urusan estetika. Ini upaya menjaga fungsi ekologis yang penting bagi kesehatan kota.

Lalu siapa yang salah? Warga? Pengelola? Mungkin bukan keduanya. Akar masalahnya sering ada di desain.

Taman yang baik seharusnya cerdas membaca perilaku pengunjung. Konsep zonasi fungsional bisa dipakai, sebuah pendekatan dalam desain lanskap (Jurnal Arsitektur Lanskap, 2016).

Buat zona rumput untuk aktivitas berat, tanami dengan varietas yang paling tangguh. Pisahkan zona yang ditujukan untuk keindahan atau sebagai area utama resapan air. Zona terakhir ini memang perlu dilindungi sepenuhnya.

Dengan desain yang tepat, dua kebutuhan bisa bertemu. Warga tetap punya ruang untuk bergerak dan bersantai. Taman pun tetap sehat menjalankan fungsi ekologisnya.

Menyalahkan papan larangan sebagai biang keladi terasa terlalu sederhana. Persoalannya lebih kompleks: dana, jumlah pengunjung, fungsi ekologi, juga kualitas desain.

Solusinya harus melihat seluruh potongan itu sekaligus. Bukan hanya mencabut papan lalu berharap semuanya baik-baik saja.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun