Papan "Dilarang Menginjak Rumput" sering muncul di mana-mana. Di banyak taman kota, malah.
Setiap kali terlihat, debatnya ikut tumbuh. Ada yang merasa terganggu, bahkan terkekang.
Taman, kata mereka, adalah ruang publik yang seharusnya bebas. Warga mestinya bisa bersentuhan langsung dengan alam.
Bukan sekadar memandang dari jauh. Larangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang memisahkan manusia dari hijaunya bumi.
Kalau dipikir, fungsi taman jelas sekali. Ia dibuat supaya dipakai.
Dinikmati. Hidup. Anak-anak berlarian. Keluarga gelar tikar untuk piknik. Pekerja duduk di rumput saat jam istirahat.
Semua itu butuh akses ke hamparan hijau. Begitu akses ditutup, taman kehilangan esensinya.
Ia berubah jadi diorama di museum. Indah, ya, tapi jangan disentuh. Wajar kalau banyak orang keberatan. Ruang publik, pada akhirnya, ada untuk warganya.
Tapi ada sisi lain yang sering luput. Bukan semata perkara kepercayaan pada pengunjung.
Seringkali soal yang lebih membumi: biaya operasional dan daya tahan taman. Merawat taman kota itu tidak murah, apalagi di kota besar yang padat.
Anggarannya kerap disorot karena bisa besar sekali. Jakarta pernah jadi contoh perdebatan soal ini (Republika, 2020).
Bayangkan satu taman di pusat kota, dikunjungi ribuan orang setiap pekan. Semua pijakan jatuh di area rumput yang sama. Rumput jenis apa pun akan kewalahan.
Lambat laun tanah di bawahnya memadat. Ribuan langkah membuatnya keras.
Ini yang disebut pemadatan tanah. Dampaknya tidak main-main: struktur tanah rusak, kantung udara penting terperas keluar, dan air sulit meresap (Michigan State University Extension, 2017).
Akar rumput kesulitan bernapas, lalu tumbuh pun susah. Ujungnya rumput mati.
Memulihkannya butuh biaya besar, tenaga banyak, dan waktu. Di titik itu, larangan terasa seperti jalan pintas paling mudah agar taman tetap hijau ketika anggaran perawatan terbatas.
Perlu diingat, taman bukan hanya soal rekreasi. Ia bagian dari ekosistem kota.
Hamparan rumput bekerja seperti spons besar yang menyerap air hujan. Efeknya nyata: membantu menekan risiko banjir (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang).
Begitu tanah terlanjur padat karena sering diinjak, kemampuan serap menurun drastis. Jadi melindungi rumput tidak semata urusan estetika. Ini upaya menjaga fungsi ekologis yang penting bagi kesehatan kota.
Lalu siapa yang salah? Warga? Pengelola? Mungkin bukan keduanya. Akar masalahnya sering ada di desain.
Taman yang baik seharusnya cerdas membaca perilaku pengunjung. Konsep zonasi fungsional bisa dipakai, sebuah pendekatan dalam desain lanskap (Jurnal Arsitektur Lanskap, 2016).
Buat zona rumput untuk aktivitas berat, tanami dengan varietas yang paling tangguh. Pisahkan zona yang ditujukan untuk keindahan atau sebagai area utama resapan air. Zona terakhir ini memang perlu dilindungi sepenuhnya.
Dengan desain yang tepat, dua kebutuhan bisa bertemu. Warga tetap punya ruang untuk bergerak dan bersantai. Taman pun tetap sehat menjalankan fungsi ekologisnya.
Menyalahkan papan larangan sebagai biang keladi terasa terlalu sederhana. Persoalannya lebih kompleks: dana, jumlah pengunjung, fungsi ekologi, juga kualitas desain.
Solusinya harus melihat seluruh potongan itu sekaligus. Bukan hanya mencabut papan lalu berharap semuanya baik-baik saja.
***
Referensi:
- Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (n.d.). Manfaat ruang terbuka hijau bagi masyarakat dan lingkungan. Diakses pada 17 September 2025, dari https://dlh.semarangkota.go.id/manfaat-ruang-terbuka-hijau-bagi-masyarakat-dan-lingkungan/
- Frank, K. (2017, July 12). Soil compaction: An invisible problem. Michigan State University Extension. https://www.canr.msu.edu/news/soil_compaction_an_invisible_problem
- Republika.co.id. (2020, February 25). DPRD DKI Soroti Anggaran Perawatan Taman dan Jalur Hijau Rp 115 Miliar. https://www.republika.co.id/berita/q5zoyg380/dprd-dki-soroti-anggaran-perawatan-taman-dan-jalur-hijau-rp-115-miliar
- Sidik, A., Jannah, S. N. M., & Santosa, B. P. (2016). Konsep perancangan taman kota sebagai ruang publik studi kasus: Taman kota di Kabupaten Jepara. Jurnal Arsitektur Lanskap, 2(1), 1--10. https://media.neliti.com/media/publications/178556-ID-konsep-perancangan-taman-kota-sebagai-r.pdf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI