Bekal sering dipandang sebagai bentuk cinta yang sederhana dan tulus. Pagi-pagi, ada kotak kecil yang disiapkan dengan terburu-buru namun penuh niat.
Isinya nasi, lauk rumahan, mungkin sedikit sayur. Orang tua meracik semuanya dengan harapan anaknya makan lahap di sekolah.
Lebih dari sekadar kenyang, bekal itu seolah jadi investasi kenangan. Kelak saat dewasa, anak akan mengingat rasa masakan rumah, mencium kembali aroma dapur, dan merasa dekat.
Ikatan semacam itu rasanya sulit pudar, apalagi kalau hadir lewat kebiasaan harian.
Tapi apakah kenyataannya selalu semanis itu? Tidak selalu.
Di balik kisah romantis, ada sisi yang jarang dibicarakan. Pagi hari di keluarga modern sering kali riuh dan mepet waktu.
Orang tua harus menata diri, mengurus anak, sekaligus bersiap berangkat kerja. Dalam situasi seperti itu, menyiapkan bekal bisa terasa sebagai beban yang nyata.
Malah bisa cukup berat. Istilahnya bahkan sudah dikenal luas: lunch-packing stress, atau stres menyiapkan bekal (HuffPost, 2016).
Bukan sekadar ungkapan cinta, melainkan tugas yang melelahkan. Dorongan media sosial untuk membuat bekal terlihat cantik sering memperparah tekanan.
Apalagi kalau kondisi ekonomi sedang ketat. Membuat bekal yang menarik dan bergizi jadi jauh dari mudah.
Kita juga kerap lupa menanyakan hal paling dasar pada anak. Mereka benar-benar suka bekalnya atau tidak?