Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Sisi Gelap di Balik Kilau Live Shopping E-Commerce

23 September 2025   15:00 Diperbarui: 18 September 2025   22:14 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi melakukan penjualan melalui fitur live shopping.(Shutterstock via Kompas.com)

Belanja online terus bergeser arahnya. Ada satu tren yang sekarang paling sering dibicarakan. Yakni live shopping dan affiliate link.

Banyak yang menyebutnya terobosan. Sebenarnya ini kelanjutan dari ide lama, hanya lebih cerdas.

Live shopping bisa dibilang versi terbaru dari home shopping yang dulu nongol di TV. Sementara affiliate link adalah bentuk digital dari komisi penjualan.

Orang bisa mendapat imbalan dari sana. Bedanya, semua itu kini terjadi di platform baru, yaitu media sosial populer. Skalanya jauh lebih besar, rasanya pun lebih personal.

Soal efektivitas, datanya cukup tegas. Jakpat merilis survei pada awal 2023. Laporan itu menunjukkan perilaku di live shopping: 86 persen responden pernah menonton, dan 65 persen akhirnya membeli (Jakpat, 2023).

Pola serupa tampak pada affiliate link, dengan 67 persen responden memutuskan berbelanja. Angka-angka ini menggambarkan momen saat itu. Tapi pasar e-commerce terkenal dinamis. Tren bisa bergeser cepat, pemain baru terus muncul.

Daya tarik utamanya jelas ada di interaksi langsung. Penonton bebas bertanya pada penjual, melihat demonstrasi produk, dan merasa dekat dengan sang host.

Aktivitas belanja yang biasanya pasif berubah jadi tontonan. Inilah yang sering disebut shoppertainment.

Ada unsur pertunjukan, ada percakapan di kolom komentar, dan penonton merasa ikut dalam sebuah momen eksklusif. Penjual pun sering membangun rasa urgensi lewat diskon waktu terbatas, mendorong konsumen untuk cepat mengambil keputusan.

Di sini letak risikonya. Taktik urgensi bekerja sebagai tekanan psikologis yang halus. Konsumen terdorong membeli secara impulsif, tanpa waktu cukup untuk berpikir atau membandingkan harga.

Hasilnya bisa berupa penyesalan. Produk yang datang tidak selalu sesuai, kebutuhan utama justru tidak terjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun