Transformasi ini mendongkrak ekonomi, ya. Tapi ada harga yang harus dibayar.
Pengunjung membludak. Terutama saat musim liburan. Kerap melewati daya dukung kawasan. Tekanan pada ekosistem Bromo yang rapuh pun melonjak.
Kita sudah melihat akibatnya. Pada September 2023 terjadi kebakaran hebat. Bukti nyata risiko wisata massal.
Pemicunya tampak sepele. Namun fatal bagi alam. Penggunaan suar untuk foto prewedding (CNN Indonesia, 2023).
Api cepat menyebar dan melahap lahan. Kerugian materi ditaksir 8,3 miliar rupiah (Kompas.com, 2023).
Kerugian ekologisnya jauh lebih sulit dihitung. Pemulihannya bisa lama. Jenis masalah seperti ini khas pariwisata modern. Sesuatu yang hampir tak terbayang di era kolonial. Ketika jumlah pengunjung masih sangat sedikit.
Objek yang kita tatap tetap sama. Matahari terbit yang memesona. Cara kita memandang dan mengelolanya yang berubah.
Dulu Bromo adalah lambang kemegahan alam. Sunyi dan dinikmati segelintir orang.
Sekarang ia jadi ruang publik yang riuh. Memikul jejak ribuan pasang kaki.
Tantangan utama bukan lagi sekadar mencapai puncak. Melainkan menjaga kelestariannya di tengah gempuran wisata.
Mengatakan tidak ada bedanya berarti memejamkan mata. Tanggung jawab kita besar. Yakni merawat warisan alam yang berharga ini. Agar tetap hidup untuk generasi mendatang.