Pesona Gunung Bromo seperti tak ada matinya. Sunrise-nya selalu jadi buah bibir. Magnet buat para pemburu momen.
Sejak masa kolonial, pelancong Eropa rela berjalan jauh. Perjalanannya berat, hanya demi sekilas momen magis itu (Indonesiana.id, 2021).
Dari sana nama Bromo dibangun sebagai destinasi premium. Tapi pengalaman dulu jelas tidak sama dengan sekarang.
Menyamakan keduanya terlalu menyederhanakan. Ada jurang lebar di antaranya.
Dulu Bromo terasa seperti surga yang amat eksklusif. Sekarang ia berubah jadi tujuan wisata massal.
Di masa kolonial, pergi ke Bromo adalah sebuah kemewahan. Destinasi ini eksklusif betul. Hanya elite Eropa yang sanggup menjangkaunya. Mereka punya uang dan tenaga ekstra (KEK).
Catatan sejarah menyarankan rute lewat Tosari (Tirto.id, 2023). Perjalanan biasanya dimulai dari Surabaya. Naik kereta api lalu berganti kereta kuda. Berjam-jam menempuh medan terjal yang terus menanjak.
Wisata ke Bromo kala itu terasa seperti ekspedisi. Petualangan mahal yang sekaligus jadi penanda status.
Penginapan pun sangat terbatas. Cermin betapa terbatasnya akses waktu itu.
Kini peta pariwisata Bromo berubah total. Akses makin mudah dengan kendaraan modern. Pintunya terbuka lebar untuk siapa saja.
Pilihan akomodasi beragam. Dari homestay sederhana sampai hotel berbintang.
Transformasi ini mendongkrak ekonomi, ya. Tapi ada harga yang harus dibayar.
Pengunjung membludak. Terutama saat musim liburan. Kerap melewati daya dukung kawasan. Tekanan pada ekosistem Bromo yang rapuh pun melonjak.
Kita sudah melihat akibatnya. Pada September 2023 terjadi kebakaran hebat. Bukti nyata risiko wisata massal.
Pemicunya tampak sepele. Namun fatal bagi alam. Penggunaan suar untuk foto prewedding (CNN Indonesia, 2023).
Api cepat menyebar dan melahap lahan. Kerugian materi ditaksir 8,3 miliar rupiah (Kompas.com, 2023).
Kerugian ekologisnya jauh lebih sulit dihitung. Pemulihannya bisa lama. Jenis masalah seperti ini khas pariwisata modern. Sesuatu yang hampir tak terbayang di era kolonial. Ketika jumlah pengunjung masih sangat sedikit.
Objek yang kita tatap tetap sama. Matahari terbit yang memesona. Cara kita memandang dan mengelolanya yang berubah.
Dulu Bromo adalah lambang kemegahan alam. Sunyi dan dinikmati segelintir orang.
Sekarang ia jadi ruang publik yang riuh. Memikul jejak ribuan pasang kaki.
Tantangan utama bukan lagi sekadar mencapai puncak. Melainkan menjaga kelestariannya di tengah gempuran wisata.
Mengatakan tidak ada bedanya berarti memejamkan mata. Tanggung jawab kita besar. Yakni merawat warisan alam yang berharga ini. Agar tetap hidup untuk generasi mendatang.
***
Referensi:
- CNN Indonesia. (2023, 14 September). Polisi Ungkap Kronologi Lahan Bromo Terbakar Gegara Flare Prewedding. Diakses pada 17 September 2025, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230914141617-12-998894/polisi-ungkap-kronologi-lahan-bromo-terbakar-gegara-flare-prewedding
- Indonesiana.id. (2021, 23 Agustus). Bromo Tengger Semeru dalam Bingkai Sejarah Pariwisata Kolonial. Diakses pada 17 September 2025, dari https://www.indonesiana.id/read/148767/bromo-tengger-semeru-dalam-bingkai-sejarah-pariwisata-kolonial
- Kompas.com. (2023, 26 September). Karhutla Bromo akibat Flare Prewedding Sebabkan Kerugian Rp 8,3 Miliar. Diakses pada 17 September 2025, dari https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/26/183000965/karhutla-bromo-akibat-flare-prewedding-sebabkan-kerugian-rp-8-3-miliar
- Sekretariat Jenderal Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus. (n.d.). Eksotisme Bromo-Tengger-Semeru yang Mendunia Sejak Dahulu Kala. Diakses pada 17 September 2025, dari https://kekk.go.id/sektoral/pariwisata/detail-pariwisata/Eksotisme-Bromo-Tengger-Semeru-yang-Mendunia-Sejak-Dahulu-Kala
- Tirto.id. (2023, 29 Oktober). Berpelesiran ke Bromo pada Masa Kolonial. Diakses pada 17 September 2025, dari https://tirto.id/berpelesiran-ke-bromo-pada-masa-kolonial-gRz4
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI