Kita sering mendengar kisah tentang rumah di Kramat 106. Rumah itu menjadi saksi lahirnya sebuah ikrar yang dianggap sakral, Sumpah Pemuda (Museum Sumpah Pemuda Kemdikbud).
Di sana para pemuda dari berbagai suku berkumpul. Mereka datang dari pulau yang berbeda, lalu menyatukan cita-cita tentang masa depan sebuah bangsa.
Cerita ini terasa agung dan heroik, dan sering dijadikan salah satu pilar utama kebangsaan Indonesia.
Semua itu benar. Hanya saja jarang diceritakan secara utuh.
Sejarah kerap ditata rapi dan lurus, seolah para pahlawan adalah sosok tanpa cela. Mereka duduk, berbincang tentang kebangsaan, lalu merumuskan persatuan.
Seakan tidak ada hambatan berarti. Padahal saat itu ada banyak kelompok pemuda. Ada Jong Java, Jong Bataks, juga Jong Sumatranen Bond. Perbedaan pendapat kerap digambarkan seolah melebur begitu saja dalam semangat persatuan (Arsip Nasional RI, 2021).
Semangat menjadi satu bangsa memang ada, tapi sering terlihat seperti datang mudah, tanpa keringat atau perdebatan sengit.
Kalau kita bayangkan lebih dekat, mereka bukan hanya pemikir atau aktivis. Mereka masih muda, banyak yang berstatus mahasiswa.
Tidak sedikit yang masih pelajar. Ada yang belajar di STOVIA, ada juga dari sekolah tinggi hukum RHS.
Mereka tinggal bersama di rumah kos yang ramai. Hidup sehari-hari tetap berjalan. Urusan perut tetap dipikirkan, urusan membayar sewa juga.
Bisa jadi ada cekcok soal kebersihan kamar. Bisa jadi ada selisih paham yang sangat personal.
Hal seperti itu biasa terjadi antar teman. Mereka manusia biasa.
Sisi ini jarang hadir di buku sejarah. Padahal kesulitan-kesulitan kecil itulah yang menguji ikatan. Interaksi harian justru menempa pertemanan sampai makin kuat.
Ada pula tokoh penting lain yang perannya seolah hanya catatan kaki. Salah satunya Sie Kong Lian, pemilik rumah tersebut. Ia pedagang keturunan Tionghoa yang sukses (Kompas.com, 2021).
Namanya kita ingat, isi benaknya tidak kita tahu. Ia mengizinkan rumahnya dipakai berkumpul.
Keputusan itu jelas berisiko. Aktivitas mereka adalah kegiatan politik, sementara pemerintah kolonial terus mengawasi.
Setiap gerak nasionalisme dicatat. Apakah bagi Sie Kong Lian ini murni perkara bisnis sewa? Atau ada simpati yang ia pendam pada perjuangan para pemuda?
Cerita dari sudut pandangnya bisa membuka wawasan baru tentang kemungkinan kerja sama dan dukungan antar etnis yang terjadi dalam diam.
Suasana saat itu pun penuh tekanan dan intimidasi. Polisi rahasia Belanda, PID atau Politieke Inlichtingen Dienst, ada di mana-mana. Konteks ini diceritakan oleh National Geographic Indonesia (2022).
Setiap pertemuan diawasi ketat. Menyelenggarakan kongres adalah keputusan berani. Menyuarakan persatuan juga tindakan berani.
Rasa takut pasti ada. Ancaman penangkapan dan penjara sangat nyata. Tekanan seperti inilah yang menjadi api pemurni semangat mereka.
Persatuan tidak lahir di ruang hampa, bukan di tempat yang nyaman. Ia lahir dan ditempa di tengah kepungan bahaya.
Melihat lagi kisah Kramat 106 tidak mengurangi nilai kepahlawanan. Justru sebaliknya. Para pemuda itu terasa lebih nyata dan dekat.
Perjuangan mereka lebih relevan dan membumi. Mereka bukan sekadar nama besar yang wajib dihafal.
Mereka adalah sekelompok anak muda dengan masalah sehari-hari dan rasa takut. Bedanya, mereka memegang mimpi besar tentang sebuah negara berdaulat bernama Indonesia.
***
Referensi:
- Adryamarthanino, V., & Nailufar, N. N. (2021, 10 Juni). Museum Sumpah Pemuda: Sejarah dan Koleksinya. Kompas.com. https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/10/160100279/museum-sumpah-pemuda-sejarah-dan-koleksinya
- Amelia, G. (2022, 27 Oktober). Kisah di Balik Ikrar Sumpah Pemuda yang Gagal Dibacakan pada 28 Oktober 1928. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/133544837/kisah-di-balik-ikrar-sumpah-pemuda-yang-gagal-dibacakan-pada-28-oktober-1928
- Arsip Nasional Republik Indonesia. (2021). Pameran Arsip Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. ANRI. https://anri.go.id/publikasi/pameran-arsip/pameran-arsip-sumpah-pemuda-satu-nusa-satu-bangsa-satu-bahasa-2021
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (n.d.). Sejarah Gedung. Museum Sumpah Pemuda. Diakses pada 17 September 2025, dari https://museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id/sejarah-gedung/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI