Hal seperti itu biasa terjadi antar teman. Mereka manusia biasa.
Sisi ini jarang hadir di buku sejarah. Padahal kesulitan-kesulitan kecil itulah yang menguji ikatan. Interaksi harian justru menempa pertemanan sampai makin kuat.
Ada pula tokoh penting lain yang perannya seolah hanya catatan kaki. Salah satunya Sie Kong Lian, pemilik rumah tersebut. Ia pedagang keturunan Tionghoa yang sukses (Kompas.com, 2021).
Namanya kita ingat, isi benaknya tidak kita tahu. Ia mengizinkan rumahnya dipakai berkumpul.
Keputusan itu jelas berisiko. Aktivitas mereka adalah kegiatan politik, sementara pemerintah kolonial terus mengawasi.
Setiap gerak nasionalisme dicatat. Apakah bagi Sie Kong Lian ini murni perkara bisnis sewa? Atau ada simpati yang ia pendam pada perjuangan para pemuda?
Cerita dari sudut pandangnya bisa membuka wawasan baru tentang kemungkinan kerja sama dan dukungan antar etnis yang terjadi dalam diam.
Suasana saat itu pun penuh tekanan dan intimidasi. Polisi rahasia Belanda, PID atau Politieke Inlichtingen Dienst, ada di mana-mana. Konteks ini diceritakan oleh National Geographic Indonesia (2022).
Setiap pertemuan diawasi ketat. Menyelenggarakan kongres adalah keputusan berani. Menyuarakan persatuan juga tindakan berani.
Rasa takut pasti ada. Ancaman penangkapan dan penjara sangat nyata. Tekanan seperti inilah yang menjadi api pemurni semangat mereka.
Persatuan tidak lahir di ruang hampa, bukan di tempat yang nyaman. Ia lahir dan ditempa di tengah kepungan bahaya.