Persaingannya brutal karena banyak penjual menawarkan produk yang sama. Cara paling umum untuk menarik pembeli adalah menurunkan harga.
Ujung-ujungnya terjadi perang harga yang sulit dihindari. Praktik ini sering mengarah ke predatory pricing, para penjual saling banting harga dengan cara yang tidak sehat, dan pasar bisa rusak sendiri karenanya (Kompas.com, 2023).
Ada risiko besar lain yang kerap terlupa, yaitu ketergantungan pada platform. Reseller sebenarnya tidak punya kendali penuh atas bisnisnya.
Nasib mereka sangat ditentukan oleh aturan main yang dibuat raksasa teknologi, dan aturan itu bisa berubah kapan saja.
Kenaikan biaya layanan, misalnya, langsung jadi beban untuk penjual. Hal semacam ini juga pernah diberitakan media (CNBC Indonesia, 2023).
Satu kebijakan baru saja bisa memangkas keuntungan. Perubahan algoritma membuat toko sepi kunjungan. Singkatnya, bisnis mereka berdiri di atas fondasi milik orang lain.
Karena itu, kita perlu mengubah cara pandang. Jangan melihat jalur ini sebagai jalan pintas menuju kaya.
Anggap saja ini sebagai proses belajar yang berharga, semacam sekolah bisnis. Dari sini, orang bisa belajar hal-hal fundamental: riset produk yang laku, cara melayani pelanggan, sampai strategi pemasaran digital.
Pengalaman ini adalah modal yang sulit dinilai harganya. Setelah bekal cukup, susun langkah berikutnya. Banyak pengusaha sukses yang memulai sebagai reseller, tetapi mereka tidak berhenti di sana.
Mereka mengumpulkan ilmu, pengalaman, dan modal, lalu berevolusi. Analisis model bisnis juga mengarah ke kesimpulan serupa.
Menjadi reseller adalah titik awal yang baik, namun membangun merek sendiri biasanya lebih baik. Dengan merek sendiri, kontrol atas produk ada di tangan kita, dan peluang keuntungan jangka panjang terbuka lebih lebar (SIRCLO).