Nama Rosihan Anwar besar di dunia media Indonesia. Ia dikenal sebagai wartawan ulung dengan karier yang membentang dari masa pra-kemerdekaan sampai Reformasi (Perpustakaan Nasional RI).
Bukan hanya menulis kabar harian, ia juga tekun mencatat sejarah. Tulisan-tulisannya tentang revolusi terasa hidup karena ia memang berada di sana. Ia melihat sendiri deretan peristiwa besar itu.
Di situlah letak keistimewaannya. Banyak orang lantas menyebutnya sejarawan, padahal ia tidak pernah menempuh sekolah sejarah. Pendidikan formal di bidang itu tidak ia miliki.
Dari sini muncul satu gagasan yang menggelitik: siapa saja, kalau punya bahan dan kedisiplinan, bisa ikut menulis sejarah.Kekuatan utama tulisan Rosihan bersumber dari pengalaman langsung. Ia tidak hanya menyisir buku perpustakaan.
Ia mengalami sendiri gejolak peristiwa bangsa. Karena itu tulisannya penuh detail kecil yang menghidupkan suasana.
Ada deskripsi menegang saat perundingan. Ada kutipan dialog antar tokoh. Hal-hal begini jarang muncul dalam buku sejarah akademis yang sering terasa kering.
Sejarah yang ia tulis punya "rasa". Pembaca seperti diajak merasakan jiwa zamannya. Catatan-catatan itu menjadi warisan berharga yang sarat inspirasi dan sisi manusiawi. Sejarah terasa dekat. Tidak kaku. Tidak membosankan.
Di titik ini perdebatan pun muncul. Apakah cukup menjadi saksi untuk menghasilkan sejarah yang objektif?
Pengalaman pribadi bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi memperkaya tulisan. Di sisi lain rawan bias.
Dalam kajian sejarah, ini masuk ranah sejarah lisan. Kesaksian seperti itu perlu diuji ulang agar objektivitas terjaga (Universitas Airlangga, 2021).
Saksi mata tentu punya perasaan. Ia punya kawan dan lawan. Pandangannya mungkin tidak sepenuhnya netral.