Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Depresi Perinatal: Berani Melawan Stigma demi Ibu yang Lebih Sehat

17 September 2025   11:00 Diperbarui: 13 September 2025   19:17 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi depresi pascamelahirkan. (via Kompas.com)

Masalah kesehatan mental pada ibu bukan perkara kecil. Organisasi Kesehatan Dunia menyebut satu dari lima perempuan mengalaminya pada masa perinatal. Itu waktu dari hamil sampai setelah melahirkan.

Apa artinya? Depresi itu nyata. Bahkan sekitar 20 persen dari mereka bisa punya pikiran bunuh diri.

Yana, 36 tahun, tahu persis rasanya. Setelah melahirkan, ia jatuh ke depresi hebat. Di kepalanya cuma ada rasa gagal. Anaknya sering sakit. Ia merasa tidak pantas jadi ibu.

Perasaan itu kuat sekali, sampai ia mencoba mengakhiri hidup. Syukurlah, ia selamat. Lalu ia mencari bantuan profesional. Dengan dukungan psikolog dan psikiater, kondisinya membaik. Dari pengalaman itu ia mendirikan Mother Hope Indonesia (MHI).

MHI menunjukkan betapa pentingnya dukungan. Sejak 2015, komunitas ini merangkul 56 ribu anggota. Mulainya dari sebuah grup Facebook.

Lewat sebuah survei internal, muncul fakta yang bikin tercenung: 80 persen partisipan belum pernah mencari bantuan profesional. Tantangan bagi para ibu masih besar.

Penyebab depresi perinatal tidak tunggal. Kata dr. Satti Raja Sitanggang, ada faktor biologis seperti perubahan hormon yang drastis. Faktor psikologis juga berperan, misalnya trauma saat persalinan.

Lingkungan sosial ikut memengaruhi. Dari situasi yang tidak suportif sampai beban ganda atau masalah ekonomi. Kondisi ini sering disamakan dengan baby blues.

Bedanya, baby blues biasanya hanya dua minggu. Kalau gejala berlanjut, itu depresi pascamelahirkan. Perbedaan ini penting.

Data global memperlihatkan masalahnya meluas. Prevalensi dunia sekitar 13 persen, dan bisa mencapai 20 persen di negara berkembang.

Di Asia angkanya lebih tinggi, 26 sampai 85 persen. Di Indonesia, hasil studi bervariasi antara 25,4 persen sampai 59,2 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun