Masalah kesehatan mental pada ibu bukan perkara kecil. Organisasi Kesehatan Dunia menyebut satu dari lima perempuan mengalaminya pada masa perinatal. Itu waktu dari hamil sampai setelah melahirkan.
Apa artinya? Depresi itu nyata. Bahkan sekitar 20 persen dari mereka bisa punya pikiran bunuh diri.
Yana, 36 tahun, tahu persis rasanya. Setelah melahirkan, ia jatuh ke depresi hebat. Di kepalanya cuma ada rasa gagal. Anaknya sering sakit. Ia merasa tidak pantas jadi ibu.
Perasaan itu kuat sekali, sampai ia mencoba mengakhiri hidup. Syukurlah, ia selamat. Lalu ia mencari bantuan profesional. Dengan dukungan psikolog dan psikiater, kondisinya membaik. Dari pengalaman itu ia mendirikan Mother Hope Indonesia (MHI).
MHI menunjukkan betapa pentingnya dukungan. Sejak 2015, komunitas ini merangkul 56 ribu anggota. Mulainya dari sebuah grup Facebook.
Lewat sebuah survei internal, muncul fakta yang bikin tercenung: 80 persen partisipan belum pernah mencari bantuan profesional. Tantangan bagi para ibu masih besar.
Penyebab depresi perinatal tidak tunggal. Kata dr. Satti Raja Sitanggang, ada faktor biologis seperti perubahan hormon yang drastis. Faktor psikologis juga berperan, misalnya trauma saat persalinan.
Lingkungan sosial ikut memengaruhi. Dari situasi yang tidak suportif sampai beban ganda atau masalah ekonomi. Kondisi ini sering disamakan dengan baby blues.
Bedanya, baby blues biasanya hanya dua minggu. Kalau gejala berlanjut, itu depresi pascamelahirkan. Perbedaan ini penting.
Data global memperlihatkan masalahnya meluas. Prevalensi dunia sekitar 13 persen, dan bisa mencapai 20 persen di negara berkembang.
Di Asia angkanya lebih tinggi, 26 sampai 85 persen. Di Indonesia, hasil studi bervariasi antara 25,4 persen sampai 59,2 persen.
Kementerian Kesehatan belum punya data resmi, jadi riset yang lebih dalam masih diperlukan.
Tembok terbesarnya sering kali stigma. Banyak orang menganggap depresi terjadi karena kurang iman atau kurang bersyukur.
Ucapan seperti "Kamu kurang bersyukur" justru memperparah keadaan. Para ibu tidak butuh dihakimi. Mereka butuh ditopang.
Menurut dr. Gina Anindyajati, depresi bisa dicegah. Kuncinya deteksi dini sejak kehamilan. Layanan kesehatan perlu proaktif, terutama saat antenatal care.
Dukungan suami dan keluarga sangat berarti. Masyarakat pun punya peran. Agus Sugianto menekankan pentingnya edukasi. Kita perlu paham bahwa bicara soal bunuh diri tidak memicunya. Justru membuka jalan untuk bantuan.
Melahirkan dan membesarkan anak mengubah hidup. Bantuan sekecil apa pun bisa terasa besar.
Mari kita kikis stigma dan ciptakan lingkungan yang suportif. Dengan begitu, para ibu lebih mudah menjangkau pertolongan. Keluar dari kegelapan. Dan menata kesehatan mental yang lebih baik.
***
Referensi:
- MotherHope Indonesia. (2022). Maternal Suicide. Webinar. Diakses dari https://motherhopeindonesia.com/
- Satanggang, S. R. (2023). Wawancara mengenai penyebab depresi. Wawancara.
- Sitanggang, S. R. (2023). Wawancara mengenai multifaktor depresi. Wawancara.
- World Health Organization. (2017). Maternal Mental Health. Diakses dari https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/promotion-prevention/maternal-mental-health
- World Health Organization. (2023). Maternal Mental Health. Diakses dari https://www.who.int/teams/mental-health-and-substance-use/promotion-prevention/maternal-mental-health
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI