Ketergantungan seperti ini berisiko bagi individu dan bagi masyarakat. Kemampuan berpikir kritis bisa terkikis pelan-pelan.
Ada kemungkinan ini bukan sekadar soal percaya. Bisa jadi soal kebiasaan otak mencari jalan pintas.
AI menawarkan jawaban cepat yang terdengar meyakinkan. Memakainya jauh lebih mudah daripada berpikir kritis dan mandiri.
Bisa jadi orang memakainya bukan karena percaya buta. Tapi karena itu pilihan termudah.
Masalahnya bukan cuma level pengetahuan. Tapi pada kemauan untuk terus bertanya. Dan berani meragukan.
Akar persoalannya ada pada cara kita memandang AI. Banyak yang melihatnya seperti kotak ajaib. Entitas super cerdas yang serba tahu.
Padahal AI hanya wujud teknologi canggih. Kepercayaan yang sehat lahir dari pemahaman batasannya (MIT Sloan Review, 2021).
AI merupakan alat statistik yang kompleks. Tetap saja hanya alat. Ia belajar dari data buatan manusia. Lengkap dengan semua bias dan kesalahannya.
Maka tujuan edukasi tidak cukup hanya menambah fakta. Yang perlu diubah adalah cara pandang.
Dari melihat AI sebagai sesuatu yang magis. Menjadi sebagai alat yang kita ciptakan sendiri.
***