Masih ingat polanya? Musim hujan datang, batuk pilek ikut datang. Kita pun waspada demam berdarah. Lalu kemarau tiba, debu di mana-mana, penyakit pernapasan mulai mengintai. Seolah ada jadwal tetap, siklus yang akrab dan mudah ditebak.
Sekarang jadwal itu berantakan. Demam berdarah yang identik dengan musim hujan bisa meledak saat cuaca panas. Batas antar musim makin kabur.Â
Data otoritas kesehatan menunjukkan hal serupa: kasus penyakit menular makin sulit diprediksi (Kementerian Kesehatan RI, 2024). Pola yang dulu kita kenal, kini susah sekali ditebak.
Banyak orang menunjuk satu tersangka utama: perubahan iklim. Tuduhan itu tidak keliru. Suhu bumi memang naik. Cuaca juga makin ekstrem.Â
Kondisi ini menguntungkan vektor penyakit. Nyamuk mendapat lebih banyak tempat dan waktu untuk berkembang biak.
Organisasi Kesehatan Dunia sudah mengingatkan hal ini (2023). Perubahan iklim meningkatkan ancaman penyakit yang dibawa vektor. Suhu yang hangat memperpanjang musim penularan, sementara jangkauan geografis nyamuk ikut meluas.
Mereka mampu mencapai wilayah yang sebelumnya terlalu dingin. Temuan ini juga dibenarkan oleh CDC Amerika Serikat (CDC, 2022).
Tapi adilkah menyalahkan iklim saja? Coba tengok kota-kota besar. Pembangunan ada di mana-mana. Perumahan baru tumbuh cepat, sayangnya drainase tertinggal. Pengelolaan sampah sering buruk. Selokan sering mampet, air tergenang.Â
Situasi seperti ini adalah pabrik nyamuk buatan kita sendiri.Bukan sekadar dugaan. Banyak penelitian sudah menyorotinya. Urbanisasi yang tidak terencana meningkatkan risiko penyakit (The Lancet, 2010).
Setiap genangan air menjadi tempat ideal. Nyamuk bertelur di sana tanpa kenal musim.
Ada faktor lain yang tidak kalah penting. Dunia sekarang sangat terhubung. Orang dan barang bergerak dengan cepat, lintas negara dan benua.
Satu penerbangan saja bisa memindahkan banyak orang. Perjalanan dari zona tropis pun singkat. Bisa saja ada penumpang gelap yang lolos dari perhatian. Mungkin telur nyamuk. Mungkin virus yang terbawa pelancong.Â
Mobilitas yang cepat ini menjadi jalur penyebaran infeksi (National Library of Medicine, 2020).
Penyakit dari satu benua bisa muncul tiba-tiba di benua lain. Iklim yang hangat membantu pendatang baru bertahan. Namun pintu masuk utamanya tetap manusia.
Pada akhirnya kita perlu bertanya pada diri sendiri, juga pada sistem. Program pemberantasan sarang nyamuk sudah lama ada. Apakah kita masih disiplin menjalankannya, atau hanya seremonial? Sistem kesehatan pun harus bercermin.
Sudah cukup adaptifkah menghadapi ancaman baru, atau masih memakai kalender penyakit yang lama? Kalender itu kini tidak lagi relevan. Upaya promotif dari pemerintah penting, tapi harus bertemu dengan kesadaran masyarakat.
Menyalahkan perubahan iklim saja terlalu mudah. Itu menyederhanakan masalah. Iklim memang faktor raksasa yang mengubah aturan main. Namun persoalannya jauh lebih kompleks.
Ini adalah badai sempurna. Campuran dari iklim yang sudah rusak, kota yang kian padat dan sesak, dunia yang seolah tanpa batas, serta kebiasaan kita yang sering abai.
Memahami semua faktor ini adalah kunci. Solusi yang efektif tidak bisa sepotong. Tidak boleh menyasar satu aspek saja.
***
Referensi:
- Centers for Disease Control and Prevention. (2022, 19 April). Climate change and vector-borne diseases. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.cdc.gov/climateandhealth/effects/vector-borne-diseases.htm
- Chen, H., Ma, Z., Ma, Y., Liu, Y., & Chen, Y. (2020). Role of global travel in the spread of infections. Journal of Travel Medicine, 27(3). https://doi.org/10.1093/jtm/taaa047
- Kementerian Kesehatan RI. (2024, 1 April). Situasi terkini demam berdarah di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. https://www.kemkes.go.id/article/view/24040100002/situasi-terkini-demam-berdarah-di-indonesia.html
- Saker, L., Lee, K., Cannito, B., Gilmore, A., & Campbell-Lendrum, D. (2010). Globalization and infectious diseases. The Lancet Infectious Diseases, 10(8), 513-514. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(10)70188-3
- World Health Organization. (2023, 30 Mei). Climate change and health. World Health Organization. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/climate-change-and-health
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI