Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemberontakan Banten 1888 Bukan Sekedar Perang Suci Melawan Penjajah

10 September 2025   05:00 Diperbarui: 31 Agustus 2025   19:00 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberontakan petani Banten meletus pada 1888. Perlawanan ini terkenal sengit. Mereka menantang pemerintah kolonial Belanda. Kita mengenalnya sebagai Geger Cilegon.

Selama ini ia sering ditempeli label besar dan mantap. Tentu, label itu kuat. Misalnya disebut cikal bakal perlawanan nasional, atau murni perang suci melawan penjajah kafir.

Ada sisi benarnya. Tapi cerita aslinya jauh lebih berlapis. Melihatnya dari satu sisi saja justru menutup gambaran utuh.

Kita perlu menelusuri pemicu amarah rakyat. Amarah yang lama disimpan dan akhirnya tumpah.

Banyak sejarawan tajam membedah gerakan ini. Salah satunya Sartono Kartodirdjo. Ia menulis karya monumental pada 1966 dan menyebutnya gerakan proto-nasionalisme. Maksudnya, benih awal kesadaran berbangsa.

Gagasannya terdengar modern. Tapi benarkah begitu? Kita sebaiknya hati-hati saat menempelkan istilah modern pada peristiwa masa lalu.Target para pemberontak waktu itu sangat lokal. Tidak muluk. Mereka ingin mengusir Belanda dari Banten dan mengembalikan tatanan lama yang mereka anggap lebih Islami. Mungkin seperti masa kesultanan dulu, yang bagi mereka terasa lebih adil.

Gagasan negara kesatuan bernama Indonesia belum lahir, dan mereka pun belum memikirkan itu. Jadi menyebutnya nasionalisme terasa kurang pas. Lebih dekat pada perjuangan identitas regional. Kuat dan tulus, tetapi tetap lokal.

Bagaimana dengan seruan jihad? Pekik "sabil Allah!" menyulut semangat massa. Gema itu mudah diterima. Para kiai dan haji tampil memimpin. Mereka dihormati, suara mereka didengar. Ada janji surga yang menguatkan hati.

Namun agama bukan satu-satunya sebab. Ia berfungsi sebagai perekat, bahasa yang menyatukan orang banyak yang berbeda-beda. Keluhan utama justru sangat duniawi. Perut lapar. Pajak kolonial mencekik (IDN Times Banten).

Hidup terasa makin sulit dan tidak adil. Lalu alam ikut memperparah. Lima tahun sebelumnya Gunung Krakatau meletus dahsyat. Dampaknya panjang: gagal panen, kelaparan besar, dan wabah penyakit (CNBC Indonesia, 2022).

Dalam keputusasaan seperti itu, ajakan perang suci terdengar seperti jalan keluar.

Para pemimpin gerakan pun punya pertimbangan sendiri. Mereka tidak semata bergerak karena ideologi. Pada masa kesultanan, kiai dan haji memegang martabat tinggi, pengaruh mereka besar.

Kedatangan Belanda dengan administrasi modern mengubah peta. Peran para ulama perlahan tersingkir. Pamong praja naik sebagai elite baru, bekerja untuk pemerintah kolonial dan lebih dipercaya oleh mereka. Wibawa ulama pun tergeser (Jurnal Keraton, 2024).

Pemberontakan menjadi upaya merebut kembali status dan kuasa yang hilang. Jadi, ini bukan hanya perkara doktrin. Ini juga soal perebutan pengaruh, terjadi di tengah arus perubahan sosial.

Intinya, Geger Cilegon adalah ledakan dari banyak masalah yang menumpuk. Ada kemarahan kaum tani yang lama tertindas dan mencapai puncaknya. Ada penolakan terhadap sistem modern yang asing, merugikan, dan sulit dipahami rakyat.

Ada pula pertarungan elite lokal memperebutkan pengaruh. Semua itu dibalut dalam wadah yang kuat bernama agama. Agama menjadi perekat sosial paling tangguh. Jihad menjadi bahasa perlawanan bersama, dipahami dari petani sampai para pemimpinnya.

Memahami Geger Cilegon berarti membukanya setahap demi setahap. Lihat dengan jernih. Bukan sekadar kisah kepahlawanan, bukan pula semata fanatisme agama.

Ini kisah tragis tentang kemiskinan yang bersifat struktural, ditambah hantaman bencana alam yang membuat rakyat putus asa.

Di dalamnya ada tarik-menarik kekuasaan, sekaligus harapan kolektif akan keadilan. Harapan akan tatanan yang mereka anggap lebih benar.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun