Panggung kecerdasan buatan global sedang ramai. Negara-negara Teluk kini ikut serta. Mereka ikut serta secara sangat agresif.
Arab Saudi dan UEA menjadi pemimpinnya. Mereka sama sekali tidak main-main. Mereka gelontorkan investasi sangat besar. Tujuannya untuk mengejar ketertinggalan.
G42 adalah perusahaan AI milik UEA. Perusahaan itu baru saja menerima dana. Microsoft memberikan dana besar tersebut. Nilainya mencapai 1,5 miliar dolar AS. Tujuannya adalah percepatan pengembangan AI (Microsoft News, 2024).
Arab Saudi juga tidak mau kalah. Mereka akan meluncurkan dana investasi AI. Dana Investasi Publik akan mengelolanya. Nilai dana itu sungguh sangat besar. Jumlahnya 40 miliar dolar AS (The New York Times, 2024).
Tujuan mereka sudah sangat jelas. Mereka ingin menjadi pemain utama dunia. Mereka punya sebuah ambisi kuat. Mereka ingin lepas dari jerat minyak. Sebab, ekonomi mereka bergantung padanya.
Namun, apakah uang dan infrastruktur cukup? Pertanyaan ini menjadi sangat penting. Menjadi pemimpin teknologi bukan soal mudah.
Ini bukan hanya soal membeli hardware. Kepemimpinan butuh lebih dari itu. Ia butuh sumber daya manusia hebat. Ia juga butuh budaya riset terbuka. Lingkungannya harus mendorong inovasi baru.
Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri. Negara dengan sistem tertutup mungkin kesulitan. Mereka sulit menciptakan ruang sebebas itu. Ruang itu penting bagi para inovator.
Jadi, membeli teknologi adalah satu hal. Menciptakan inovasi orisinal hal lainnya. Keduanya merupakan hal yang sangat berbeda.
Kita juga melihat pergeseran strategi menarik. Pergeseran ini terjadi di ranah geopolitik.
Dulu, negara Teluk akrab dengan Tiongkok. Mereka akrab dengan raksasa teknologi Huawei. Sekarang, mereka telah berbalik arah.